BAB II

768 65 43
                                    







           

Bumi itu berputar mengelilingi matahari. Selalu dan tak pernah lelah walau terkadang kehadirannya tidak pernah dianggap ada. Namun bumi tak pernah lelah tak pernah pula mengeluh karena memang takdirnya untuk mengelilingi matahari. Bumi sangat mencintai cahaya matari, tak peduli walau kadang cahayanya itu menyakiti bumi sekalipun. Bumi tidak pernah berhenti.

Seorang cowok tinggi sekitar 180 cm, berkulit putih sedang bercermin full body sambil memasang dasi. Ia mengenakan kemeja biru muda dengan dasi berwarna abu-abu. Setelah selesai ia kemudian memakai setelan jas berwarna hitam.  Pria tersebut keluar dari kamarnya dan turun menuju meja makan untuk sarapan.

"Selamat pagi," sapanya ramah pada orang-orang yang ada di meja makan tersebut. Disana ada seorang pria paruh baya berumur 40 tahuan keatas dan wanita yang sedikit lebih muda.

"Om, Tante, Reka mana?" tanya pria tersebut.

"Biasalah,Van. Belum bangun," jawab wanita paruh baya.

Ya, pria tadi adalah Devan, lengkapnya Devan Atmaja Siregar. Dia tinggal bersama om dan tantenya yang merupakan orang tua dari Reka, adik sepupunya.

"Oh ya, kamu kapan ke Jakarta?" tanya Om nya, Andrean Alfardo.

"Minggu depan, Om. Tapi kalau bisa aku wakilkan aja soalnya aku masih banyak urusan di Bandung," jawab Devan.

"Gabisa gitu dong. Klien mintanya kamu yang datang sendiri kesana," sahut Adrean.

"Iya, aku usahain ya, Om," jawab Devan.

Sebelum berangkat ke kantor,  Devan mampir dulu ke makam seseorang. Devan menaruh buket bunga dandelion di makamnya.

"Sorry gue jarang kesini. Sekarang gue udah mulai sibuk. Lu tau ga? Gue kesepian gaada lu. Biasanya kan lu yang selalu ngajak gue ribut. Maafin gue." Mata Devan memerah menahan air matanya agar tidak keluar. Ia tidak ingin terlihat cengeng.

Devan melanjutkan perjalanannya ke kantor. Setibanya di kantor, Devan disapa ramah oleh para pegawainya. Devan hanya membalas sapaan para pegawainya dengan senyuman atau anggukan. Devan tiba di ruangannya. Ia memeriksa beberapa berkas yang terlampir di mejanya dan membacanya. Matanya tertuju pada sebuah bingkai foto di mejanya. Foto 2 orang pria dengan seorang gadis ditengah. Gadis itu tersenyum hangat. Senyum yang selalu Devan rindukan. Devan selalu berharap bahwa suatu hari ia masih bisa melihat senyuman itu.

Bandung, Jawa Barat

Juni 2015

Seorang cowok dengan seragam SMA khas milik SMA Bina Bakti tengah berdiri di depan gerbang SMA Husada. Seragamnya berantakan. Rambutnya acak-acakan. Tas tersampir di bahunya. Ya, dia adalah Devan 3 tahun yang lalu.

"Ka Devan?" sapa seorang cewek dari SMA Husada.

"H...hai," sapa Devan kikuk.

"Kaka ngapain kesini?" tanyanya.

Devan menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal.

"Mau jalan?" ajak Devan. Cewek itu mengerutkan keningnya.

"Kaka tau kan pacarku siapa?" tanya Cewek itu heran.

"Lalu, apa masalahnya? To the point aja ya. gue suka sama lu. Gue ga peduli lu punya pacar. Yang jelas gue lagi usaha. Siapa tau lu mau lepasin pacar lu demi gue."

Cewek itu melongo mendengar penuturan Devan. Seperti itulah Devan, selalu blak-blakkan.

Devan tiba-tiba menariknya paksa masuk kedalam mobil.

Tentang RasaWhere stories live. Discover now