Trivi A

28K 2.3K 245
                                    

Malam semakin larut. Bahkan sekarang sudah beranjak dini hari. Jam menunjukkan pukul satu pagi ketika seorang gadis terbangun dari tidurnya karena terganggu oleh bunyi bel rumahnya. Bel rumah itu terdengar kelewat nyaring di heningnya malam. Si pemencet bel juga tampak tidak sabaran sehingga bunyi bel itu jadi sangat berisik.

Gadis itu bergerak turun dari tempat tidur dan berjalan menuju saklar lampu. Setelah lampu di kamarnya menyala, gadis itu tampak mengerjapkan mata beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya.

Gadis itu menyibak sedikit gorden yang menutupi jendela kamarnya. Ia mengarahkan pandangannya ke jendela berkaca bening yang memperlihatkan bagian depan rumahnya. Ia menajamkan penglihatannya.

Setelah beberapa saat mengamati, gadis itu tampak mengernyitkan dahi. Tanpa pikir panjang lagi, ia segera berlari keluar kamar.

Walau sedang berada di rumah sendirian, gadis itu sepertinya tak merasa takut menerima tamu yang datang di waktu tak wajar begini. Ia dengan mantap berjalan menuju pintu depan rumahnya.

Setelah sampai di balik pintu, gadis itu mengulurkan tangannya untuk membuka kunci pintu dan menarik pintu itu hingga terbuka. Ia mendapati orang yang cukup familier tengah berdiri di teras rumahnya. Gadis itu mengangkat sebelah alisnya karena heran.

"Arthur? Kenapa malem-malem ke sini?" tanya si gadis dengan suara lirih dan menyiratkan rasa penasaran. Gadis itu juga mengangkat sebelah alisnya.

Laki-laki berperawakan tinggi tegap yang tengah diajak bicara oleh si gadis bernama lengkap Arthur Elias. Ia biasa dikenal dengan panggilan Arthur. Laki-laki itu memasang wajah datar dan serius yang menjadi ciri khasnya. Arthur terkesan dingin dan tak tersentuh.

Sedangkan si gadis sendiri bernama lengkap Tryshana Maurelia Primrose. Lebih akrab dikenal dengan panggilan Shana. Gadis itu tampak lebih bersahabat dan ceria daripada laki-laki di hadapannya.

"Sori ya udah ganggu lo malem-malem gini. Lo dapet pesan singkat dari nomer asing nggak?" Arthur segera to the point. Ia memang tidak suka basa-basi berlebihan.

"Gue belum pegang handphone sejak sampai rumah tadi. Memangnya isi pesannya apa?" Shana tampak makin bingung saja. Ia tidak tahu arah pembicaraan Arthur.

"Cek dulu aja handphone lo!" perintah Arthur. Hawa-hawa otoriter sangat kental di setiap ucapan laki-laki itu.

"Tapi ini tentang apa?" Shana masih bersikeras agar diberitahu. Walau terkesan penurut, sebenarnnya Shana cukup keras kepala.

"Coba cek dulu handphone lo. Soalnya gue juga nggak tau apakah lo dapet pesan itu atau enggak. Kalau Verrel, Akbar, dan Agatha dapet pesan yang sama kaya pesan yang gue terima," jawab Arthur yang juga tak kalah keras kepala. Arthur terlihat makin tak sabaran menghadapi gadis lawan bicaranya.

"Gue akan cek handphone gue setelah lo jawab dulu pesan itu tentang apa!" Shana berseru tegas. Sepertinya kali ini ia mutlak tidak mau dibantah.

"Dia kembali." Arthur berkata setelah mampu menahan emosinya. Ia memilih mengalah saja sementara waktu.

"Dia siapa? Mama lo? Nino? Kak Kara? Atau siapa?" Shana menebak-nebak antusias.

Namun, ekspresi wajah Shana berubah kaku seketika. Dia sadar bahwa Arthur sedang sangat serius saat ini.

"Bukan mereka, tapi dia yang selama ini nggak pernah kita tahu keberadaan pastinya," terang Arthur untuk menjawab rasa penasaran Shana.

"Pak Ilham?" gumam Shana lemas begitu menyadari hal itu.

Arthur tampak mengangguk menguatkan ucapan Shana. Itu artinya tebakan Shana tepat dan itu adalah berita buruk. Mungkin permainan gila setahun yang lalu akan memulai babak baru.

Sebenarnya, Arthur juga sama kagetnya dengan Shana. Arthur sudah melupakan-atau setidaknya berusaha melupakan-kasus setahun yang lalu itu. Namun sesuai perkiraan, memang sedari awal kasus itu belum selesai kan? Cepat atau lambat, akan ada yang bergejolak lagi untuk membuat masalah. Siap tidak siap, Arthur dan Shana harus menghadapi masalah baru ini.

Shana mengerjapkan mata beberapa kali. Ia seperti menyadarkan dirinya sendiri dari entah apa itu. Gadis itu menggigiti ujung kukunya.

"Oke, siapa takut! Kita pasti bisa kok menghadapi orang jahat itu." Shana berkata mantap seolah-olah ia memang mampu menghadapi masalah yang akan datang.

Arthur hanya menganggukkan kepala untuk mendukung pernyataan Shana. Bagi Arthur, tidak menampakkan kelemahan dan rasa takut merupakan salah satu poin penting untuk menghadapi musuh. Jadi ia sangat mendukung cara berpikir Shana walau itu terkesan sedikit sombong dan terlalu percaya diri.

***

Hi readers :) Gimana sama part ini? Belum greget ya? Sabar dulu, keseruannya ada di part-part selanjutnya ya.

Jangan lupa untuk vote dan comments cerita ini ya. Feedback dari kalian sangat penting lho buat aku, hehe.

Oh ya, kalau kalian nggak keberatan, boleh nggak aku minta bantuan kalian buat promosiin cerita ini? Makin banyak yang baca, aku janji bakal rajin update deh.

Thanks buat readers yang udah mampir.

Love you all 💋

BOOK 2 MISSION SERIES: MISSION IN TRIVIA (Pindah ke Innovel) Where stories live. Discover now