¦Part 4¦

10.9K 1.4K 160
                                    

Shana menunduk dalam-dalam saat dipandangi dengan intens oleh Arthur. Walau cowok itu tak mengatakan apapun, tetap saja Shana merasa terintimidasi. Saat ini, Shana benar-benar ketakutan dengan sikap marah Arthur.

"Karena kalung itu belum cukup kuat untuk menjebloskan lo ke penjara, lo masih bisa berkeliaran di sini." Arthur berujar dingin. Sembari berbicara, Arthur mengangkat dagu Shana sehingga tatapan gadis itu bertemu dengan Arthur. Tatapan Arthur juga lurus ke mata Shana.

Shana makin ketakutan saja. Ia bahkan merasa lebih baik ditanya-tanyai oleh polisi-polisi itu daripada dihadapkan pada Arthur. Rasa-rasanya kata-kata Arthur itu menancap di hati Shana dengan sedemikian rupa.

Kata-kata Arthur seolah-olah tak berbelas kasih. Cowok itu bahkan memasang tampang dingin dan datar dengan mata setajam elang. Apakah setiap Arthur menghadapi kasus mengerikan, ia akan memasang tampang begitu ya?

"Terus apa yang harus gue lakukan sekarang?" tanya Shana begitu berhasil mengumpulkan keberanian. 

Arthur menoleh ke kanan dan kiri. Ia memastikan tak ada polisi di sekitar mereka. Saat ini, Arthur dan Shana sedang ada di ruang sidang. Ruang itu bukan ruang sidang seperti di pengadilan, ini hanyalah ruang sidang di ruang BK. Kebetulan, para polisi hanya berjaga di luar ruang sidang itu. Ruang sidang ini juga cukup kedap suara. Setelah memastikan tak ada yang akan mendengar pembicaraan Arthur dan Shana, cowok itu lanjut bicara.

"Gue udah cek CCTV sekolah. Lo tau hasilnya? Itu tambah memberatkan elo." ujar Arthur dengan kekehan menyebalkan di akhir kalimatnya. Walau terkekeh seperti itu, sorot tajam mata Arhur sama sekali tak melembut.

"Kok bisa begitu?" Shana mengernyit makin takut saja.

"Bisa dong. Lihat ini!" perintah Arthur sambil mengangsurkan handphonenya pada Shana. Mendengar nada penuh perintah itu, Shana segera menurut saja.

"Ini gue, Ar?" tanya Shana sambil menunjuk-nunjuk handphone Arthur. Gadis itu melongo saking bingungnya.

"Tadinya, gue berpikir dia bukan lo. Tapi, kalo elo merasa cewek di CCTV itu adalah lo, mungkin itu memang lo." jawab Arthur enteng.

Muka Shana yang pucat sekarang nyaris hijau. Shana bahkan tak bisa sepenuhnya memahami kata-kata Arthur yang terlalu banyak menggunakan kata "lo".

Oke Arthur memang keterlaluan sekarang. Cowok itu juga sadar kok kalau tingkah usilnya sangat tidak tepat waktu. Tapi dia juga butuh membuat Shana merasa terdesak sehingga gadis itu akan melakukan hal sesuai perintahnya. Oke ini lebih memperlihatkan lagi betapa kejamnya Arthur.

"Coba lihat rekaman yang ini," Arthur menunjukkan video lainnya yang tersimpan di handphonenya.

"Ini juga gue pas berangkat sekolah." Shana berujar pasrah.

"Itu mengonfirmasi bahwa elo udah ada di sekolah sejak lima belas menit sebelum lo ngajak si korban ke gudang itu, kan? Kemudian korban datang ke sekolah sepuluh menit sejak kedatangan lo di sekolah. Lima menit adalah waktu yang cukup untuk lo mengajak korban lo ke tempat yang udah lo siapin. Lo sekarang nggak punya alibi karena belum ada siswa yang berangkat kecuali lo dan korban lo itu. Lo juga bisa mencelakai temen lo saat kondisi sekolah masih sepi dan itu membuat lo bisa menjalankan rencana lo dengan mulus. CLEAR!" Arthur menyimpulkan seenak jidat.

"CUKUP!" Shana balas berteriak ke arah Arthur. Kepala Shana rasanya akan meledak dalam waktu dekat karena mendapat tuduhan-tuduhan dari Arthur itu.

Saat ini Shana malah menangis sesenggukan. Emosinya meledak-ledak tak karuan. Kenapa ia jadi terkesan bersalah dan ketakutan?

Sesaat, Arthur menoleh ke arah polisi yang berjaga di depan ruang sidang ini. Namun, Arthur tak melihat polisi itu terusik oleh teriakan Shana. Ini artinya ruang sidang itu benar-benar kedap suara.

BOOK 2 MISSION SERIES: MISSION IN TRIVIA (Pindah ke Innovel) Where stories live. Discover now