¦Part 9¦

9.7K 1.3K 207
                                    

Semakin dipikirkan, semakin tak masuk akal. Shana berkali-kali menghela napas. Temuan-temuan terbaru Arthur berupa sapu tangan dengan bau kloroform dan sidik jari yang tertinggal di piano itu makin membuat Shana penasaran.

Shana menyorot lampu senter handphonenya ke arah ruang musik itu sekali lagi. Tiba-tiba saja ia teringat bagian tingkap.

Dalam kasus pertama, senjata untuk melukai korban kan disembunyikan di tingkap. Mungkinkah pada kasus kedua ini hal itu juga berlaku?

"Ar, coba deh lo ngecek ke tingkap itu." Shana menunjuk ke bagian tingkap yang dimaksud.

Arthur mengamati tingkap itu sebentar, kemudian ia memutuskan menuruti perkataan Shana. Arthur menarik sebuah meja yang teronggok di pojok ruangan. Ia juga menambahkan sebuah kursi lipat di atas meja itu untuk bisa menggapai tingkap.

"Gimana?" tanya Shana penasaran.

Arthur masih bergeming. Kemudian ada kilatan puas dari mata Arthur. Tak lama kemudian, Arthur berhasil mengeluarkan sebuah tongkat besi dan pedang pendek yang berlumuran darah. Shana memekik girang karenanya.

Shana bukannya girang dalam artian buruk. Ia hanya puas bisa menemukan bukti paling oke dalam kasus ini.

"Pelaku yang melukai Adrian pasti ganas dan brutal banget, deh. Pakai dua senjata lagi. Satu tumpul, satu tajam. Gila deh, lengkap sudah!" Shana mengomentari senjata yang ada di tangan Arthur.

Arthur juga turut mengamati dua senjata yang ada di tangannya. Kenapa senjata itu ditinggal di tempat ini? Siapa sebenarnya pelaku yang melukai Kelvin dan Adrian?

"Hallo, anak-anak!" seru seseorang dari ambang pintu ruang club musik.

Shana dan Arthur sama-sama terkejut. Darah di wajah mereka tampak menyusut membuat keduanya pucat pasi. Dengan gerakan yang tampak slow motion, keduanya menoleh ke arah sumber suara.

"Ayah?"

"Om Gerald."

Shana dan Arthur sontak saja menggumamkan secara bersamaan siapa sosok yang berhasil membuat jantung Shana dan Arthur berhenti berdetak barang satu dua detik. Untunglah itu bukan sesuatu yang buruk.

***

Setelah menyerahkan bukti-bukti yang berhasil mereka temukan, Shana dan Arthur mengikuti Gerald menuju sebuah ruangan.

Ruangan itu tampak terang di antara ruangan lain di sekolah ini yang sengaja dipadamkan lampunya. Ternyata Gerald membawa kedua anak itu ke ruang piket. Biasanya ruangan itu dijaga oleh guru piket pada jam-jam sekolah. Ruangan itu sendiri berfungsi untuk menerima tamu yang datang ke sekolah ini.

Namun kali ini ruangan itu tampak ditunggui oleh beberapa polisi. Mungkin ruang piket itu dijadikan markas sementara para polisi jaga itu. Begitu melihat Pak Gerald, polisi-polisi itu tampak memberi hormat.

Pak Gerald memberi perintah pada anak buahnya untuk mengosongkan ruang piket. Begitu polisi-polisi itu pergi, Pak Gerald membawa Shana dan Arthur masuk ke ruangan itu.

"Duduk dulu," ucap Gerald memberi perintah pada dua anak yang berjalan di belakangnya.

Kedua anak itu duduk dengan patuh dan tanpa banyak omong.

"Tindakan kalian malam ini cukup nekad," komentar Gerald.

"Maaf, Om. Saya nggak berpikir panjang dalam mengambil langkah." Arthur menanggapi dengan penuh sesal.

"Lain waktu, saya akan marah atas tindakan ceroboh kalian. Tapi untuk kali ini, saya akan menoleransinya. Kalian sudah melanggar batas TKP yang diberi pita kuning oleh pihak kepolisian dan kalian juga menggeledah ruangan itu tanpa izin dari kami. Tapi untungnya, kalian menemukan bukti yang bahkan tidak ditemukan oleh pihak kepolisian." Gerald tampak serius.

BOOK 2 MISSION SERIES: MISSION IN TRIVIA (Pindah ke Innovel) Where stories live. Discover now