Bab 6 : Kembali ke masa lalu

29.3K 1.7K 8
                                    

Perjalanan menuju ke rumah orangtua Kiran kali ini terasa lebih panjang dan lama dari biasanya. Wajah yang sebelumnya cantik dan anggun kini sudah berubah kacau berantakan.

Janji Kiran yang tak ingin menangis lagi saat melangkah meninggalkan kafe ternyata tak segampang itu dilakukan. Kiran mengutuk dirinya yang terlahir sebagai perempuan, karena terlalu gampang terbawa perasaan hingga meneteskan air mata.

Cuaca malam yang awalnya bersahabat berubah perlahan. Suasana langit malam yang awalnya cerah dengan sinar rembulan bertabur bintang berubah gelap, bahkan tampak aneh dengan semburat cahaya putih menemani perjalanannya. Awalnya Kiran kira itu petir, namun petir menyambar dengan cepat serta mengeluarkan suara menggelegar sedang cahaya itu bertahan agak lama tanpa suara lalu menghilang, kejadian itu terulang beberapa kali sebelum hujan deras turun tiba-tiba.

Baru setelahnya petir ikut menyambar membuat jalan terlihat terang selama beberapa detik sebelum gelap kembali. Jalanan terlihat sepi dari kendaraan malam ini, entah ini keberuntungan atau kesialan. Yah, siapa juga yang mau keluar rumah di cuaca seperti ini. Lebih enak menghabiskan waktu di rumah atau tempat tidur di temani selimut dan minuman hangat.

Jarak pandang yang berkurang akibat hujan deras membuat Kiran hanya bisa memacu mobilnya dengan kecepatan sedang. Petir terus menyambar membuat suasana perjalanan menjadi mencekam.

Hingga tak di sangka petir menyambar pohon besar tak jauh di depannya, tepat di bagian kanan jalan hingga terbakar dan tumbang menghalangi jalan beberapa meter di depannya. Kaget dengan kejadian di depan matanya yang mendadak, membuat Kiran sontak membanting setir mobilnya ke kiri, jalan yang licin membuat ban membawa mobil keluar jalur hingga.

Brak...

Suara benturan keras terdengar. Mobil Kiran menabrak pohon besar dengan keras hingga bagian depan mobilnya hancur. Tubuh Kiran bagian bawah terjepit, kepalanya terbentur setir dan kaca samping beberapa kali hingga merobek pelipisnya, darah mengalir dari perlahan ke pipi.

Kesadaran Kiran terus menurun seiring tubuh yang terasa remuk di tambah rasa sakit luar biasa. Di jalanan yang sepi dan cuaca seperti ini kecil kemungkinan kendaraan lain lewat sehingga bantuan bisa segera datang. Kiran pasrah, mungkin inilah akhir hidupnya.

'Menyedihkan,' batin Kiran sambil tersenyum getir di paksakan, mentertawakan nasib buruknya. Hingga akhirnya kesadarannya perlahan menghilang, 'Ibu, Ayah, Mas Danu, maafin Kiran.' Satu tetes air mata mengalir di pipinya bersamaan dengan hilangnya kesadaran Kiran.

*****

Cahaya hangat mentari pagi  menyentuh wajah seseorang yang tertidur lelap. Terganggu dengan keadaan itu seseorang itu membuka matanya perlahan. Di gerakkan tubuhnya miring ke kiri dan ke kanan lalu merenggangkan tangannya ke atas, kebiasaannya sebelum beranjak dari tempat tidur.

'Eh ini di mana?' benaknya dengan mata menatap langit-langit kamar.

'Surga kah, tapi kok gak ada bedanya sama di bumi, atau ini di rumah sakit?'

Ingatan kejadian tadi malam langsung berputar di kepala orang itu. Cahaya putih, hujan deras, petir, pohon tersambar, terbakar dan tumbang hingga mobilnya hancur menabrak pohon.

Seketika seseorang itu terbangun. Matanya menatap kedua kaki yang dilapisi piyama biru lalu bergerak memperhatikan tubuh dan kedua tangannya. Dia menggerakkan kakinya perlahan lalu tangan kanan dan kiri bergantian.

Keningnya mengernyit, rasanya tak mungkin kejadian hebat tadi malam tak meninggalkan bekas luka dan rasa sakit. Di angkatnya kedua tangan, tak ada rasa sakit sedikitpun. Kedua tangan itu lalu bergerak menyusuri kepala dan meraba wajahnya yang terbentur berkali-kali tadi malam dan tak ada sakit juga luka. Aneh, ini aneh.

Kesempatan KeduaWhere stories live. Discover now