Bab 2 Polwan juga Manusia

38 7 2
                                    

Canda dan tawa terdengar di sela obrolan ringan antar anggota yang sedang istirahat makan siang di pantry Dit Tipid Siber. Ruangan berukuran 5 x 6 m2 itu terasa hangat dan menyenangkan, setidaknya di sini para anggota bisa sejenak melepaskan kepenatan sebelum kembali bekerja.

Mengingat teknologi informasi menjadi salah satu senjata dan peralatan utama dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, untuk menghindari tercecernya remahan makanan yang dapat mengundang datangnya hewan pengerat atau minuman yang bisa saja tumpah maka setiap anggota tanpa pandang bulu dilarang untuk membawa makanan dan minuman ke ruang data center. Satu-satunya tempat untuk menuntaskan hajat mendasar itu hanya pantry, wajar jika setiap kali jam istirahat, ruangan itu selalu penuh.

Dari ruang ini pula setiap orang bisa melihat gedung-gedung pencakar langit tampak berjajar dan berlomba untuk menonjolkkan diri di kejauhan. Tak bosan rasanya selalu melihat pemandangan yang sama setiap hari, terlebih kala senja menyapa. Semburat jingga memenuhi langit Jakarta dengan gumpalan awan laksana permen kapas yang sangat lezat. Lampu-lampu gedung dan jalanan mulai menyala, menggantikan peran sang surya untuk menerangi kota. Laksana kunang-kunang yang berkelap-kelip dalam gelap.

"Oh jadi ini to kerjaan anggota teladan yang mendapatkan KPLB itu! Cuma bisa cekikikan dan sengaja berlama-lama di pantry!" suara AKBP Marlina terdengar menggema, bersaing dengan tumpukan berkas yang diletakkan di atas meja dengan kasar.

Nyali setiap anggota seketika ciut, siapa juga tak kenal dengan AKBP Marlina. Meski baru empat bulan menjabat sebagai Kanit I Sub Dit II Tipid Siber Bareskrim, tetapi kejudesan dan kegalakannya telah menyebar luas bak spora yang tertiup angin tanpa pernah bisa dibendung. Sikap tak bersahabat ditunjukkan ke semua orang, terlebih pada anggota-anggota yang tidak disukai. Hampir tiap hari selalu ada saja hal yang dilakukan untuk membuat anggota tersebut merasa terintimidasi.

Sikap yang sangat berbeda akan ditampilkan manakala di depan pimpinan. AKBP Marlina berubah bak seorang ibu yang selalu mencintai dan mengayomi setiap anak-anaknya. Pujian dan kata-kata manis lainnya selalu dilontarkan, tak jarang hadiah kecil pun diberikan sebagai apresiasi, tetapi saat pimpinan sudah berlalu sifat aslinya kembali hadir. Seluruh anggota tak menyukainya, tetapi hirarki kepada pimpinan dan senior membuat mereka terpaksa harus patuh dan tunduk kala diperintah.

"Izin Komandan, saat ini masih jam istirahat dan makan kami pun belum selesai," Jeanne mencoba meredakan situasi yang seketika berubah tegang.

"Mau sampai kapan tumpukan berkas pemeriksaan ini kelar, jika untuk makan saja kalian sengaja berlama-lama! Saya tidak mau tahu, dalam tiga hari ke depan berkas pemeriksaan ini sudah harus naik tahap dua dan dikirim ke Kejaksaan!" ultimatum yang diberikan AKBP Marlina cukup membuat nasi yang masih tersisa di piring seketika kehilangan daya tariknya.

Seluruh anggota masih bergeming di kursinya, mencoba mencerna perintah apa yang baru saja mereka terima. Rasanya tak mungkin dalam waktu tiga hari seluruh berkas pemeriksaan bisa dilengkapi dan dikirimkan ke Kejaksaan mengingat para saksi pun belum selesai diminta keterangannya.

Menyadari tak ada gerakan yang dilakukan para anggotanya, AKBP Marlina menghentikan langkahnya dan berbalik badan.

"Nunggu apa lagi, segera kembali ke ruangan dan kerjakan apa yang Saya perintahkan!" pekiknya sambil mengacungkan satu jarinya tepat ke wajah seluruh staf.

Dengan muka masam menahan kejengkelan, masing-masing anggota segera membubuarkan diri. Membantah ucapan AKBP Marlina sama saja dengan menabuh genderang perang dan seluruh anggota sepakat untuk tidak pernah berurusan dengannya. Dari rumor yang beredar, karena sifat yang tak simpatik itu pula yang membuat AKBP Marlina masih melajang saat umur tak lagi muda, tidak ada laki-laki yang tahan dan berhasrat meminang.

INCOGNITOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang