Bab 8 - Kehilangan Paspor

20 2 0
                                    


Sesuai dengan pesan Jeanne sebelum mengejar pencopet yang berhasil mengambil tas punggung polwan cantik itu, Chika diam menunggu di tempat semula dia berdiri. Udara yang berhembus dingin tak juga mampu meluruhkan tekadnya untuk bertahan, meski jelas terasa lebih nyaman seandainya Chika bisa menyesap secangkir kopi panas dan menikmati sepotong kue di coffee shop dengan penghangat ruangan.

Mata Chika tampak nyalang melihat ke sekeliling, berharap menemukan sosok kakak sepupunya itu di antara kerumunan dan padatnya orang yang berlalu lalang. Resleting jaket sudah menutup sempurna, begitupun dengan syal yang erat melilit leher tapi rasa dingin itu masih enggan menyingkir. Asap yang menyembul setiap kali dia menghembuskan napas atau berbicara seakan jadi sebuah hiburan baru yang menemani kala kegalauan itu membelenggu begitu kuat.

Tak terhitung berapa banyak Chika duduk, berdiri dan kembali duduk di antara kopernya dan koper Jeanne, tetapi sosok yang ditunggu tak juga datang kembali. Hidung gadis itu mulai mengeluarkan air, layaknya seseorang yang sedang menderita influenza sehingga harus berkali-kali dibersihkan dengan tissue yang diambilnya dari dalam tas. Chika pun harus membongkar kopernya sendiri untuk mengeluarkan jaket tambahan dan sarung tangan demi mempertahankan dirinya tak membeku dalam suhu Tokyo yang terbilang masih cukup dingin di awal musim semi kali ini.

Tampak tubuh Jeanne yang berjalan gontai di kejauhan, meski ragu apakah benar sosok itu adalah Jeanne yang selama ini dikenal Chika sangat semangat dan gesit. Namun keyakinannya semakin besar, kala melihat sosok itu berjalan mendekat ke arah tempatnya berdiri.

"Ya ampun, Kak! Kenapa rambut Elo sampai acak-acakan gini terus jaket juga kotor banget kena tumpahan saos?" pekik Chika penuh kekhawatiran saat melihat kondisi Jeanne yang terlihat sangat kacau.

Jeanne yang tampak bingung mendapati pertanyaan adik sepupunya itu, sontak dia merapikan rambut yang selalu terpotong pendek itu dengan jari sebelum memeriksa jaket yang dipakai.

"Aduh bagaimana bisa kena saos begini, kalau nodanya tidak hilang gimana dong!" Jeanne bergumam sendiri sambil mencoba membersihkan noda yang ada dengan tissue yang diambil dari tangan Chika.

"Elo yang pakai jaket, kenapa malah tanya ke Gue. Kadang-kadang ya, tidak enak juga jadi orang cerdas yang bego kayak Elo!" Chika menjawab sewot.

Sebenarnya ujaran Jeanne adalah biasa saja, terlebih gumaman yang terlontar tak ubahnya pertanyaan konyol ke diri sendiri. Namun Chika yang merasa jenuh serta bosan harus sekian lama menunggu sang kakak kembali, dalam kondisi yang kedinginan sampai mendadak flu menjadi sensitif dan mudah tersulut emosinya.

"Gimana, pencopetnya bisa ditangkap kok tas Elo masih gak dibawa?" tanya Chika sejurus kemudian.

"Gue lelah, mending kita cari kopi hangat dulu yuk di deretan kios yang berada di dalam situ." Alih-alih langsung menjawab, Jeanne justru mengajak sang adik sepupu untuk kembali masuk dan menyusuri deretan pertokoan dan kedai makanan yang berjejer rapi di dalam stasiun.

"Emang hanya Elo yang capai, Gue juga sudah hampir membeku dari tadi nungguin sang tuan putri di sini!" timpal Chika bersungut-sungut.

"Iya maaf, makanya kita cari kopi dulu. Jangan khawatir, Gue yang traktir," terang Jeanne sambil menarik tangan Chika untuk segera beranjak dari depan pintu keluar stasiun.

"Bukannya tas Elo kecopetan, yakin masih bisa traktir?" tanya Chika tak mengerti.

"Yaelah, kecopetan tas bukan berarti Gue jadi mendadak miskin juga kali. Kalau timbang buat traktir segelas kopi, masak iya seorang Jeanne Renata tak mampu!" jawab Jeanne sedikit menyombongkan diri dengan maksud menggoda adik sepupunya itu.

INCOGNITOWhere stories live. Discover now