Bab 4 - Escape Plan

32 5 0
                                    


Mobil Bagas telah sempurna menghilang dari pandangan, meski demikian Jeanne masih bergeming di tempatnya berdiri. Antara percaya dan tidak dengan apa yang baru saja didengar. Bagaimana bisa Bagas sampai mengutarakan rasa cintanya, padahal jelas-jelas dari awal Jeanne sudah menunjukkan sikap permusuhan.

"Mbak Jeanne ya? tanya seorang pengendara taksi daring mampu mengembalikan kesadaran Jeanne.

"Benar, Bang," Jeanne menjawab singkat.

"Sudah siap belum, Mbak? Mari Saya antarkan ke tujuan." Ujar pengendara taksi daring ramah sambil membukakan pintu mobilnya.

Jeanne bergegas masuk mobil yang dipesannya. Untuk kali ini setidaknya dia bisa sedikit bernapas lega karena tak perlu menghabiskan waktu paginya dengan berolah raga di GBK bersama Bagas. Namun tak mungkin juga jika Jeanne langsung pulang, bisa dipastikan kedua orang tuanya akan marah besar saat tahu dia membatalkan acaranya.

Polwan cantik itu bermaksud untuk menyambangi tempat indekos saudara sepupunya yang berada di Bendungan Hilir. Mobil bergerak pelan menuju Jalan Asia Afrika sebelum berbelok menuju Jalan Jenderal Sudirman melalui depan hotel Athlet Century Park. Tampak orang-orang yang lazim menghabiskan akhir pekan mereka dengan berolahraga di GBK berduyun-duyun menuju pintu masuk istora. Di sisi lain terlihat beberapa rombongan pesepeda mengular di Jalan Jenderal Sudirman menuju Kawasan Kota Tua yang selalu menjadi tujuan akhir dan titik kumpul setiap komunitas pesepeda Ibu Kota.

Alih-alih merasa senang dan tersanjung dengan pernyataan cinta Bagas, Jeanne justru merasa semakin benci dengan laki-laki itu. Bagaimana bisa Bagas dengan mudah bilang cinta, jika rekam jejak petualangannya yang suka gonta-ganti pacar sudah menjadi perbincangan di sesama Perwira Polri begitu santer. Terang harga diri Jeanne tak terima dan merasa sedang dipermainkan.

Bagas boleh menipu wanita-wanita lain atau bahkan kedua orang tuanya, tetapi tidak dengan Jeanne. Bukan sesuatu yang sulit bagi dia untuk menelisik bagaimana sikap terjang Bagas melalui sahabat-sahabat yang ada di sekitarnya.

Pengendara taksi daring yang dipesan Jeanne menghentikan mobil yang dikendarai di depan sebuah bangunan berlantai dua bercat putih dengan kombinasi warna abu-abu di beberapa bagiannya. Bangunan berlantai dua itu terlihat masih sepi, pintu-pintu kamar penghuni rumah indekos masih asik terlelap dan berada di dalam buaian kehangatan selimut.

Jari tangan Jeanne tampak bergerak di atas monitor gawainya, mencari salah satu nomor kontak yang disimpannya.

"Bangun woi, anak gadis tak pantas jam segini masih tidur," ujar Jeanne di sambungan telepon.

"Apaan sih, sudah bangun dari tadi kali. Emangnya Elo yang bisa seharian tidur terlebih saat libur!" tak kalah sengit seseorang yang diseberang telepon membalas. "Ada angin apa, tumben jam segini telepon?" imbuhnya

"Gue di depan gerbang kos Elo, tolong bukain pintu dong," jawab Jeanne.

"Dorong aja, gak dikunci kok. Kamar Gue ada di lantai dua, Elo masih ingat kan?"

"Gue belum jadi nenek pikun yang sekedar mengingat lokasi kamar aja gak bisa!" jawab Jeanne ketus sebelum mematikan telepon begitu saja.

Umur Jeanne dan Chika memang tidak terpaut jauh, Chika sendiri anak dari paman Jeanne yang tinggal di Surabaya. Dengan alasan ingin bisa lebih mendiri dan terbebas dari segala keruwetan aturan di rumah Jeanne, Chika memutuskan untuk indekos sejak diterima bekerja pada sebuah perusahaan multi nasional yang kantor pusatnya berada di kawasan perkantoran nomor satu di Jakarta.

Acap kali Jeanne merasa begitu iri dengan Chika yang bisa bebas melakukan apapun yang diinginkan. Karena jenuh dengan situasi rumah, terlebih sejak sang papa memasuki masa purna tugas pernah Jeanne mengutarakan niatnya untuk mencari indekos yang banyak terdapat di daerah Santa yang tak jauh dari kantornya di Mabes Polri. Bukannya restu, Jeanne justru mendapat omelan dan ceramah panjang lebar dari sang papa.

INCOGNITOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang