Bukan Kecemasan Biasa

38 6 0
                                    

Aku bergegas menuju ruanganku, pekerjaan ini harus segera tuntas. Teringat ucapan tegas Pak Dani, jika calon klien kami kali ini, harus diutamakan. Tentu saja aku enggak mau, gara-gara keteledoranku, proyek ini lepas dari tangan.

"Jani, sini! Buru-buru amat lo, ngerumpi bentaran yuk!" Rani menggamitkan jari saat aku melewati mejanya.

"Sorry, Ran ... masih banyak yang harus gue kerjakan nih, lo tahu kan, bagaimana si Boss berharap banget proyek ini gak lepas dari kita."

"Alah bentaran aja, kok, kita ada planning nih," rayu Rani sembari mengedip-ngedipkan matanya.

"Kagak!" tegasku sembari melambaikan tangan menggodanya. Sulit diprediksi definisi sebentar menurut Rani, dan aku khawatir enggak mampu melepaskan diri, ketika temanku itu mulai ngoceh.

Aku melanjutkan langkah, di kepala hanya terbayang bagaimana pekerjaan ini harus selesai sebelum jam kantor usai.

Sembari mengetikkan draft penawaran kerja sama untuk calon klien, terngiang kembali ucapan Pak Dani tadi. Apakah benar, aku pernah bertemu dengan pemilik resor itu? Jika iya, di mana? Aku mengingat kembali, perjalanan beberapa hari yang lalu, saat survei ke resor Kejora Malam. Ah, sangat kusesali, buruknya ingatanku.

Sudahlah, gak penting juga kali, buat tahu siapa dia. Lebih baik fokus dengan kerjaan saja.

Aku menepis pikiran yang melintas di benak. Bisa dibayangkan bagaimana berangnya Pak Dani, jika tugas ini gagal kusiapkan. Si perfeksionis itu, tidak akan mau menerima sedikit saja kesalahan dari anak buahnya. Namun, sisi lain dari Boss-ku itu, dia tidak akan tanggung-tanggung memberi reward pada karyawan yang berprestasi.

Satu persatu draft penawaran aku persiapkan. Mulai dari design concept yang kami tawarkan, lay out plan, perspective view, hingga ke furnitur yang akan digunakan, serta warna dan material yang sesuai. Termasuk fee design dan garansi pemeliharaan.

Untung saja tim yang terkait, sudah mempersiapkan segala sesuatunya, hingga pekerjaanku tidak terkendala. Untuk desain ruangan, aku sendiri yang membuat rancangannya.

"Hai, Non ... serius amat, gue sudah nongol di sini, lo anggurin saja." Suara renyah Rani mengusik konsentrasiku.

"Ya ampun, gue belum bolot kali ... standart saja volumenya, napa sih."

Rani melototkan mata indahnya, seraya menggeram tidak jelas. Aku tersenyum menanggapinya.

"Lo, gak makan ini? Jangan sampai ya tu keyboard, lo emut satu-satu."

"Ih, tega banget yak ... emangnya gue kuda lumping."

"Udah, yuk! Sudah mulai rusuh nih piaraan gue." Rani menarik tanganku cepat, kujejerkan langkah mengikutinya.

***

"Jani, lo tahu gak, ntar pulang kantor, kita mau hang out bareng, ikut ya, please!" Suara Rani merayu ditimpali dengan desah pedas sambal mercon, menu makan siangnya.

"Lo sudah tahu jawaban gue, kan," sarkasku.

"Ayo dong ikutan, sekali ini saja." Makin memelas suaranya, tetapi tidak mengubah putusanku.

Sudah beberapa kali teman-teman kantor hang out, usai jam kantor. Ada saja yang mereka lakukan, wajar saja, kesibukan di kantor—apa lagi saat ada proyek besar, teman-teman butuh refreshing. Ditambah lagi, Pak Dani selalu support dengan memberi bonus untuk agenda entertain ini. Kadang nonton, ngopi di kafe dengan musik live atau sesekali clubbing bareng.

Kadang terbesit keinginan untuk ikut serta, tapi pesan Mama senantiasa terngiang di pikiran. Wajah cemas dan khawatir perempuan terkasih itu, mengaburkan keinginan untuk bersenang-senang. Sejak Mama dan Papa berpisah, aku tahu benar bagaimana Mama berjuang payah melewatinya. Aku pun memahami, kenapa Mama wanti-wanti berpesan agar aku selalu pulang selepas jam kantor.

Di rumah, aku bisa membantu Mama menyusun draft menu untuk penawaran kateringnya. Atau, sekadar menemaninya merawat tanaman hias di taman kecil samping rumah.

"Eh, malah bengong." Lagi-lagi Rani mengejutkanku, untung saja ayam geprek di mulutku tidak melompat keluar.

"Anteng dikit napa sih, Non?" sungutku seraya membersihkan nasi yang berhamburan di tepi mulutku.

"Lagian, lo sih—gue itu ngajakin buat refreshing, loh. Biar lo lebih semangat  ngerjain perintah Boss."

"Iya, gue tahu, makasih deh atas perhatian lo. Lo memang sahabat yang ngertiin gue banget."

"Nah, begitu dong—artinya lo setuju, kan? Lo ikut kita ntar kan?"Aku menahan tawa melihat mimik lucu Rani.

"Enggak," tegasku, "gue gak mau bikin resah Mama."

"Lo kan bisa minta izin dulu, Nona Cantik." Rani masih meluncurkan usahanya.

"Lo pikir Mama bakal ngizinin?"

"Enggak!"

"Nah, tumben lo pinter," sahutku sambil tergelak. Rani pun ikut terbahak, menertawakan kenaifannya.

"Hus!" Aku mendekap mulut tiba-tiba, saat hampir semua pengunjung warung makan di dekat kantor kami, menoleh serentak. Warung makan ini sangat ramai pengunjungnya di saat jam istirahat seperti ini. Wajar saja, selain enak dan murah, juga terletak di daerah perkantoran. Hingga pengunjungnya rata-rata adalah para pekerja.

"Udah, ah ... yuk balik ke kantor," ajakku seraya meraih gelas es teh manis di hadapanku, dan meneguknya hingga tidak tersisa. "Kerjaanku masih banyak, tuh. Boss minta aku selesaikan hari ini juga."

"Oke deh, Non .. eits ingat ya, ntar kalau berubah pikiran, kabari aku!"

Masih saja Rani membujukku untuk ikut bersamanya sore ini. Aku kembali tersenyum dan menganggukkan kepala, meski aku yakin, itu tidak akan terjadi.

Sesampainya di kantor, kami berpisah, aku langsung menuju meja kerja, sedang Rani, yang staf keuangan juga menuju ruangannya. Baru saja aku meletakkan bokong di kursi yang tidak terlalu empuk ini, interphone di mejaku berdering. Segera kuangkat, dan terdengar suara Pak Dani.

"Anjani, kalau draft tidak selesai sore ini, maka kamu terpaksa lembur ya. Tapi jangan khawatir, saya juga akan menemani kamu lembur, nanti kita makan malam saja dulu, baru melanjutkan pekerjaan."

"Baik, Pak—saya usahakan selesai sore ini, Pak. Kasihan kan Bapak, kalau harus lembur juga." Dalam hati aku bertekad untuk menuntaskan pekerjaan ini. Sebisa mungkin, lembur aku hindari. Walaupun untuk urusan pekerjaan, Mama mengizinkan, tapi tetap saja perempuan itu akan merasa cemas.

Aku teringat ketika itu, kantor sedang ada proyek besar, pengerjaan rumah sakit di daerah Bogor, ternyata target waktu yang disepakati maju tidak sesuai perjanjian. Maklum saja, karena berurusan dengan anggaran pemerintah, mau tidak mau kami harus mengikuti keinginan mereka. Akibatnya, aku dan beberapa teman kerja yang terlibat dalam proyek tersebut, harus kerja lembur. Tiap sebentar, Mama menelepon, menanyakan keadaanku. Bukan aku tidak suka, tapi tentunya malah mengacaukan konsentrasi kerja. Belum lagi rekan-rekan yang meledekku. Berangkat dari pengalaman itu, sebisa mungkin aku menghindari yang namanya kerja lembur. Kebayang kan, bagaimana kecemasan beliau kalau aku hang out bareng teman-teman?

Pukul 4.30 petang. Aku memeriksa ulang semua file yang dibutuhkan, sebelum menyerahkan kepada Pak Dani. Setelah dirasa semuanya rapi dan tidak ada yang tertinggal, lalu aku memencet tombol telepon penghubung antar ruangan, yang langsung tersambung ke ruangan Pak Dani.

"Pak, draft penawaran sudah selesai," laporku.

"Bagus, bawa laptopmu ke sini, akan saya periksa," sahut si Boss.

Aku beranjak mengangkat tubuh dari tempat duduk. Kuregangkan otot-otot punggung dengan gerakan streching ringan. Kemudian menenteng laptop dan menuju ruangan Pak Dani.

"Good job," puji lelaki paruh baya berkumis itu. "Tidak ada yang perlu direvisi, segera kamu kirimkan via email ke perusahaan calon klien kakap kita. Saya optimis, proposal kita akan diterima."

"Semoga, ya, Pak."

***

Ups, the next giliran my partner loh, Gaess ... cuss astiwisnu

Bukan Salah CintaNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ