Bukan Perjalanan, Tapi Awal Petualangan

23 5 0
                                    

Untuk ukuran pukul sepuluh malam, langit hari ini tergolong terang, salah satu penyebabnya mungkin jumlah bintang-bintang yang bermunculan lebih banyak dari biasa terlihat di langit Jakarta. Udara di sekitar pantai memang benar-benar jernih, sehingga langit seperti mendapat refleksi kejernihannya.

Sayang sekali aku tidak dapat menikmati langit yang bersih serta menghirup udara pantai yang segar ini lebih lama. Menyadari kenyataan tersebut, tanpa sadar aku menghela napas. Kaca jendela mobil yang gelap seperti menggambarkan perasaanku malam ini, meninggalkan resor dan teman-temanku yang pastinya tengah menikmati suasana.

Besok gue ceritain deh serunya acara malam ini, lo balik saja sana ke Jakarta dengan selamat dan utuh.

Pesan whatsapp yang dikirim Rani beberapa menit yang lalu seperti mengejek keadaanku saat ini.

"Sedang ada masalah?" tegur suara di sebelah kananku mengagetkan.

Seketika ponselku terlepas dari genggaman, dan kalau bukan karena kesigapan pria yang tengah duduk di sampingku untuk menangkapnya, ponsel itu mungkin sudah terjatuh ke bawah jok kursi mobil.

"Eh? Tidak ada, tidak ada masalah apa-apa," ujarku setelah menerima ponselku kembali. Tanganku dan pria itu, Pak Ivan, sempat bertemu beberapa saat. Hanya beberapa detik namun mampu membuatku salah tingkah.

Jangan salahkan aku, berdua saja di mobil dengan seseorang yang baru dikenal kurang dari enam jam yang lalu tentu membuat keadaan menjadi canggung. Walaupun sepertinya kondisi itu hanya berlaku untuk diriku saja, karena Pak Ivan seperti tidak terganggu sama sekali. Sejak setengah jam yang lalu ketika meninggalkan resor sampai sekarang, pria itu tampak santai saja. Sepertinya mengantar pulang perempuan yang baru dikenal adalah hal yang biasa.

"Tidak perlu, Pak. Saya bisa pulang sendiri," tolakku sesaat setelah Pak Ivan menyebutkan ia akan mengantarku pulang.

"Ini sudah malam, biar saya yang menyetir saja. Anda bisa beristirahat." Pak Ivan mengambilalih kunci mobil dari tanganku setelah membukakan pintu mobil.

"Tetapi," ujarku tertahan, mencoba memikirkan kalimat yang tepat untuk menolak dengan halus. Apapun juga, pria ini adalah calon klien potensial untuk perusahaan. Aku tidak bisa sembarangan bicara.

"Biarkan Pak Ivan mengantarmu pulang, Jani. Beliau memang akan bertolak kembali juga ke Jakarta. Sekalian saja lebih baik bukan? Saya khawatir membiarkanmu pulang sendiri." Suara Pak Dani menghentikanku untuk melontarkan sebuah kalimat penolakan yang baru saja terlintas di benak.

"Saya ada acara besok pagi di Jakarta, sehingga memutuskan pulang malam ini agar sempat istirahat. Sewaktu Pak Dani menyebutkan Anda akan kembali ke Jakarta malam ini, saya pikir kenapa tidak pergi bersama saja? Sekaligus memastikan Anda tiba di Jakarta dengan selamat."

"Saya sudah pernah menyetir Jakarta-Bandung seorang diri pada malam hari, jadi tidak akan masalah untuk saya menyetir di waktu malam," ujarku mengeluarkan alasan yang tertunda. Lagipula, apa kata Mama nanti saat melihat aku pulang diantar pria?

"Nanti kita bisa berpisah di Sudirman apabila Anda keberatan saya mengantar sampai rumah. Saya dapat melanjutkan perjalanan dengan taksi dari sana," papar Pak Ivan seperti bisa membaca jalan pikiranku.

Pernyataan terakhir itu membuat Pak Dani semakin semangat mendorogku untuk menerima penawaran Pak Ivan.

"Dia calon klien potensial, Jani," bisik Pak Dani ketika Pak Ivan tengah berputar ke arah kursi pengemudi. "Kalian bisa membicarakan proyek selama perjalanan nanti, kamu jangan lupa sebutkan semua penawaran terbaik yang kita tawarkan tadi."

Penekanan akan konteks pekerjaan yang diucapkan Pak Dani membuat pikiranku sedikit tenang. Anggap saja aku tengah melakukan perjalanan bisnis, walau kali ini tanpa adanya penumpang perempuan lain di dalam mobil. Kalau sampai mama tahu, beliau pasti menceramahiku perkara berduaan saja di dalam mobil dengan lawan jenis. Namun, kemungkinan itu akan tereleminasi selepas aku dan Pak Ivan berpisah nanti. Aku akan kembali ke rumah sendirian saja. Aman.

"Ada masalah di rumah?"

"Eh?" ulangku baru menyadari Pak Ivan kembali melontarkan pertanyaan. Pria dengan wangi mint yang lama-lama menyerupai udara pantai di sebelahku ini membuat pikiranku melayang-layang sejak tadi.

"Saya tidak bermaksud mencampuri hidup Anda, tetapi sejak tadi Anda menghela napas beberapa kali. Saya pikir pasti ada sesuatu yang tenga terjadi di rumah sehingga harus kembali pulang secepatnya."

"Oh tidak-tidak," balasku cepat-cepat. Aku langsung menggerakkan kedua tanganku ke arah Pak Ivan, membentuk huruf X.

"Syukurlah kalau begitu." Gantian Pak Ivan yang menghela napas lega. "Karena kalau memang ada sesuatu di rumah, saya bisa menyetir lebih cepat agar kita segera sampai Jakarta."

"Tidak perlu, kecepatan sekarang sudah cukup. Jalanan pun cukup lancar, sepertinya tidak sampai satu jam kita sudah akan tiba di Jakarta," balasku seraya memperhatikan mobil lain di depanku yang berjarak kurang lebih 30 meter.

"Jadi kita akan berpisah di Sudirman?"

Aku mengangguk cepat.

"Cepat sekali setujunya, tidak ingin suami kamu tahu ada pria yang mengantar pulang ya?"

"Suami saya? Saya tidak punya suami," ujarku otomatis memalingkan wajah ke arah Pak Ivan. Langkah yang salah, senyum pria itu sontak membuat kedua pipiku terasa hangat.

Pak Ivan tertawa mendengar pertanyaanku. "Bercanda, tidak mungkin saya berani mengantar pulang istri orang sendirian saja seperti sekarang. Cari masalah itu namanya. Saya lebih suka dengan perempuan single."

Aku memalingkan wajah kembali menghadap jalanan, berusaha meredam kedua pipiku semakin menghangat.

"Terlalu berlebihan ya saya? Maaf ya," ujar Pak Ivan setelah aku tidak membalas ucapannya. Bingung juga aku harus menjawab apa. "Soalnya dari tadi canggung sekali, saya pikir perlu dicairkan sedikit suasananya."

Ah, ternyata bukan hanya aku yang merasakan kecanggungan di antara kami.

"Kita akan bekerjasama berdampingan untuk waktu yang cukup lama. Tidak enak rasanya apabila hubungan kita seperti ini."

"Bekerjasama?" tanyaku tertarik. Apakah ini berarti...

"Bukankah Pak Dani sudah memberitahu Anda kalau saya sudah memutuskan akan memakai jasa peusahaan kalian?" Pak Ivan menaikkan sebelah alisnya yang tebal, melempar pandangan penuh tanya ke arahku.

Aku menggeleng. Bisa-bisanya atasanku menyembunyikan fakta penting seperti itu. Sebelumnya malah memintaku untuk membicarakan tentang proyek selama perjalanan kembali. Padahal kalau kami sudah menang tender, untuk apa lagi aku menjual isi proposal serta presentasiku tadi?

Aku mulai mencium ada yang tidak beres di sini.

"Mungkin dia lupa," lanjut Pak Ivan sembari menaikkan kedua bahunya, pandangannya kembali fokus ke jalanan. "Tetapi dia pasti akan memberitahumu secepatnya. Proyek ini tidak akan berjalan tanpa kehadiran kamu."

"Oh, saya akan terlibat di dalamnya nanti?" tanyaku penasaran. Tidak semua anggota tender akan terlibat langsung ketika masa pengerjaan. Biasanya, setelah menang tender, perusahaan akan memilih project manager yang bertanggung jawab akan pelaksanaan proyek dari awal hingga selesai.

'Oh, kamu akan sangat sangat terlibat di dalamnya," jawab Pak Ivan kembali melemparkan senyumnya.

***

Bukan Salah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang