Bukan Tanpa Dasar

23 5 0
                                    

Pak Ivan: Tidak ada alasan khusus.

Aku menatap balasan pesan dari Pak Ivan di layar ponsel berkali-kali, berusaha menemukan apakah ada makna lain yang mungkin terlewat diartikan.

Pak Ivan: Apakah Anda sepenasaran itu?

Aku terlonjak dari dudukku ketika pesan berikutnya masuk, tanpa sempat kubalas pesan sebelumnya. Ia pasti sudah mengetahui aku telah membaca pesan ini, tetapi tidak tahu bagaimana membalasnya.

Anjani: Tentu saja. Pengalaman saya belum banyak, tetapi Bapak berani meminta saya untuk menangani proyek pembangunan resor mewah Anda.

Aku deg-degan menanti balasan Pak Ivan. Aku tidak tahu jawaban apa yang kuharapkan, selain menuntaskan rasa penasaran saja. Walaupun kata-kata Rani terngiang-ngiang terus di pikiranku.

Pertimbangan seperti apa yang membuatnya memilih lo. Setidaknya lo tahu harapan dia ke lo apa nantinya.

Harapan apa yang dia inginkan dari seorang amatir sepertiku? Benakku mengulang-ulang pertanyaan tersebut. Jujur saja, aku sangat tidak yakin mampu menyelesaikan proyek besar tersebut, memikirkannya saja sudah membuatku pening, apalagi menjalankannya.

Nanti kamu akan punya tim sendiri, 4-5 orang sepertinya cukup. Terserah kamu untuk menentukan kriteria anggota tim. Kamu bisa minta tolong konsultan dari tim lain atau hire konsultan freelance.

Untuk budget, nanti diskusikan kembali dengan bagian keuangan. Secara umum, klien sudah setuju dengan anggaran yang kita berikan, mereka juga masih terbuka untuk diskusi apabila ada penambahan lainnya.

Akan ada beberapa kali perjalanan bisnis ke bakal lokasi dibangunnya resor nanti, jadi pastikan agendamu selalu terbuka dengan kemungkinan ini.

Meeting dengan klien setiap hari Rabu, tatap muka langsung. Jangan lupa.

Mengingat sebagian pernyataan-pernyataan Pak Dani terkait pelaksanaan proyek ini semakin membuat kepalaku pening. Sungguh banyak sekali yang harus dipelajari, dan tidak banyak waktu yang kumiliki untuk mempelajari semuanya.

Pak Ivan: Lusa, saat meeting pembukaan, saya akan katakan langsung alasan memilih Anda untuk memimpin proyek pengerjaan resor baru saya.

Pesan baru dari Pak Ivan semakin membuatku penasaran, sekaligus cemas. Penasaran akan alasan penunjukkanku, serta cemas menghadapi meeting pembukaan proyek. Begitu banyak hal yang harus kusiapkan dalam dua hari ini. Aku bahkan belum benar-benar menerima penugasan ini, walaupun aku tahu penugasan ini bukan pilihan.

Anjani: Baik Pak, sampai bertemu dua hari lagi.

Balasku akhirnya, tidak enak apabila tidak membalas pesan Pak Ivan.

Pak Ivan: Sampai nanti. Saya sangat menantikan lusa datang lebih cepat untuk kembali bertemu dengan Anda. Kali ini, bukan karena kebetulan.

Anjani: Semoga saya tidak mengecewakan Bapak.

Pak Ivan: Tidak akan. Saya tidak pernah salah memilih. Selamat malam, selamat beristirahat dan semoga bermimpi indah.

"Apakah wajar apabila klien mengucapkan 'semoga bermimpi indah' kepada konsultannya?" tanyaku tanpa sadar menyuarakan isi hati.

"Apanya yang wajar?" Tiba-tiba Mama sudah berdiri di dekat meja kerjaku, menyerahkan secangkir teh hangat.

"Ah, Mama bikin kaget saja," seruku mengelus dada.

"Sepertinya ada yang sedang kamu pikirkan banget sampai enggak sadar kehadiran Mama," ujar Mama sebelum mengambil duduk di tepi ranjang, tidak jauh dari tempatku duduk saat ini.

Aku menyesap teh buatan Mama, wangi bunga melati menguar menggelitik indera penciumanku. Ah, teh buatan Mama selalu mampu memberikanku energi baru.

"Apakah ini berhubungan dengan sesuatu yang kamu mau ceritakan pada Mama?" lanjut Mama setelah aku selesai menghabiskan setengah cangkir teh.

"Begitu deh, Ma," ujarku lemah lalu meletakkan kembali cangkir teh ke atas meja dengan hati-hati.

"Berkaitan dengan pekerjaan?" tebak Mama.

Aku mengangguk.

"Kamu butuh saran, pendapat atau nasihat?"

Aku tertawa. "Lengkap banget sih, Ma, pilihan jasanya. Kalah kayaknya pelayanan di kantor Jani dengan Mama."

"Loh, kan Mama harus mempersiapkan bagaimana Mama harus menempatkan diri. Saran itu berarti Mama harus seperti rekan kerja kamu, profesional. Pendapat membuat Mama berlaku seperti teman, agar lebih masuk ke kamu. Sementara nasihat lebih mudah, Mama hanya akan bersikap selayaknya seorang Mama kepada anaknya."

"Wow, bravo," seruku bertepuk tangan. "Mama keren banget." Aku mengacungkan kedua jempol ke arah Mama.

"Nah, sekarang pilihan kamu apa?"

"Sepertinya pendapat, karena apa yang Jani akan ceritakan ini tidak membutuhkan pilihan apa yang akan diambil atau hikmah bagaimana yang terselip di belakangnya."

Aku mulai menceritakan terkait proyek pembangunan resor yang diberikan kepadaku. Mulai dari proses persiapan tender, perjalanan bisnis yang sudah diketahui Mama, presentasi sampai persiapan meeting pembukaan yang akan berjalan dalam dua hari. Lengkap, tanpa ada detail yang tertinggal.

Kecuali bagian pulang selepas presentasi serta berbalas pesan yang baru saja kulakukan, yang keduanya melibatkan satu orang. Sang owner sendiri, Pak Ivan.

"Ini kesempatan emas dong, nak," komentar Mama setelah aku selesai menjelaskan.

"Ih, komentar Mama sesuai banget dengan prediksi Pak Dani deh. Kalian bersekongkol ya?" 

Mama tertawa, kemudian mengacak-acak rambutku. "Berarti kami berdua memiliki pemikiran yang sama kalau kamu akan sukses menangani proyek ini."

"Tuh kan, persis Pak Dani. Tadi juga Pak Dani berkata seperti itu. Jani sampai mengingatkan beliau akan faktor risiko kegagalan yang juga sama besar dengan kesuksesan."

Mama menggeleng. Ia menangkup wajahku dengan kedua tangannya. Aku melihat kedalaman mata perempuan yang telah menghabiskan 24 tahun hidupnya untuk kebahagiaanku. Garis-garis halus tampak nyata di sekitar matanya, menandakan lelah yang telah lama disimpannya.

"Anjani anak Mama tidak pernah menyerah, berani menerima tantangan dan selalu menyelesaikan semua tugas yang diberikan. Kali ini pun, Mama yakin kamu akan melakukan hal yang sama. Apapun hasilnya nanti, selama kamu telah melakukan yang terbaik, hasilnya pasti tidak akan mengkhianati proses yang telah dijalani."

Spontan aku memeluk Mama erat. "Kok Mama bisa sih seyakin itu sama Jani? Jani saja enggak percaya dengan kemampuan Jani sendiri," ujarku di sela-sela pelukanku.

"Kalau bukan Mama yang percaya dengan kemampuan kamu, siapa lagi? Dan buat apa seorang Ibu hadir kalau tidak untuk mendukung anaknya?"

Aku melepas pelukanku, sementara Mama melanjutkan kegiatan mengacak-acak rambutku.

"Jani sungguh khawatir kalau sampai mengecewakan kantor, Ma. Ini bukan proyek main-main."

"Yakin saja dengan kemampuan kamu. Menurut Mama, kantor juga enggak akan sembarangan mempercayakan proyek ini padamu kalau kamu juga enggak bagus kerjanya, meskipun klien yang meminta sekalipun. Reputasi mereka kan dipertaruhkan."

Aku mengiyakan pernyataan Mama dalam hati.

"Sudah Isya, salat dulu sana mohon petunjuk agar kamu lebih tenang."

Tidak lama setelah Mama berkomentar dan keluar dari kamar, sebuah pesan baru masuk. Tanpa melihat siapa pengirimnya, aku langsung membuka aplikasi pesan.

Pak Ivan: Oh Iya, selepas meeting pembukaan nanti, apakah keberatan kalau kita lanjut makan malam bersama?

Aku terdiam. Apakah ini petunjuk pertama yang datang menghampiriku?

*** 

Bukan Salah CintaWhere stories live. Discover now