Bukan Pertengkaran Biasa

19 3 0
                                    

Aku kembali membelah jalanan yang padat, dengan perasaan kalut. Tidak habis pikir, kenapa Mama tega membohongi aku. Kenapa tidak bicara jujur saja. Kenapa ... ah terlalu banyak kenapa berserabutan di pikiranku. Kristal bening meluncur di pipi, tanpa mampu kucegah. Aku pun tidak dapat memahami perasaan yang berkecamuk.

Dering pada gawai di dalam tas, berulang kali terdengar. Namun, kuabaikan saja. Tidak berapa lama, ponsel itu kembali berbunyi. Bahkan berkali-kali. Kuputuskan untuk menepikan mobil ke pinggir, lalu meraih benda pipih dari dalam tottebag, yang mengingatkan kepada si pemberinya.

Mama. Tiga kali panggilan tidak terjawab. Kugeser layar, ada nama Pak Ivan di sana. Ternyata pria itu juga meneleponku. Ada apa gerangan?

Di saat aku masih ragu untuk memutuskan, apakah menelepon balik atau mengacuhkan saja, ponsel kembali berdering. Pak Ivan.

"Ya halo, Pak." Aku menjawab panggilan tersebut.

"Hmm ... satu kesalahan lagi." Pria itu mengingatkanku.

"Eh, maaf, Bang—ada apa, ya? Semua berkas yang Abang minta, sudah aku kirimkan tadi." Aku hanya meluruskan, mungkin dia akan bertanya tentang pekerjaan.

"Harusnya aku yang bertanya, apa yang terjadi denganmu? Tadi aku ke kantor, tapi kata Pak Dani, kamu izin pulang lebih awal. Kamu sakit?"

Mendengar ucapannya itu, membuat hangat sudut netraku. Ingin rasanya kucurahkan segala resah ini dan bersandar di bahunya. Namun, kutepis cepat hasrat itu. Tidak. Pak Ivan bukan siapa-siapa. Dia hanya seorang klien—rekan bisnis. Benakku mengingatkan itu.

"Tuh, kan, ditanyain malah bengong. Sudah, sekarang katakan, kamu lagi di mana. Aku akan ke sana."

"Eh jangan, Bang! Aku sudah hampir sampai di rumah, kok." Cepat kucegah, sebelum pria itu nekat menemuiku. Sungguh, aku belum sanggup untuk berbagi dengan siapa pun saat ini.

"Ya, sudah—kalau begitu, hati-hati yaa. Kalau butuh apa-apa, cepat kabari aku." Entah kenapa, ketegasan pria itu memberiku rasa nyaman.

"Terima kasih, Bang—aku lanjut nyetir ya. Abang juga hati-hati." Ups, apa-apaan ini. Aku ingin meralat ucapan, tapi terlambat.

"Duh, melayang rasanya dapat perhatian dari kekasih hati." Pria itu langsung menyela ucapanku.

Spontan kuakhiri panggilan itu, tanpa sempat mengucap salam. Kulanjutkan perjalanan menuju rumah. Sepertinya memang aku harus pulang, karena hanya di sana ada jawaban dari kekalutan ini. Kali ini, kuakui lebih tenang. Apakah karena Pak Ivan? Bisa jadi, sih.

Setelah memarkir mobil di garasi, tepat di samping mobil Mama. Itu artinya beliau sudah tiba lebih dulu. Perlahan aku menarik nafas dalam dan berat. Walaupun rasanya belum siap menghadapinya, tetapi ini harus kulakukan. Menghindar juga tidak memberi jawaban.

Aku melangkah masuk, dan Mama sedang duduk di sofa. Sepertinya tengah menantiku.

"Anjani, duduk di sini dulu, Nak. Kita harus bicara." Mama menegur, dan aku tidak mungkin menghindar.

"Seharusnya, Mama bicara jauh hari sebelum ini. Sebelum Jani menyaksikan hal yang menyakitkan di depan mata Jani, Ma." Aku sulit mengendalikan emosi.

Mama terdiam, tampak sedang berusaha menahan amarahnya.

"Mama emang gak anggap Jani ada, kan? Mama gak peduliin perasaan Jani. Atau, Mama ingin Jani pergi dari rumah ini, biar Mama bisa bebas kencan sama pria itu, kan?" Aku semakin tidak menentu.

"Jani! Jaga ucapanmu." Mama membentakku.

"Mama mau membela diri? Setelah apa yang Jani lihat dengan mata kepala sendiri. Beberapa hari yang lalu, Jani juga lihat Mama di Mal bergandengan tangan bersama pria itu, tapi Mama bohong, Mama bilang pergi sama Tante Ami. Mama sudah gak sayang sama Jani lagi, kan?" Suaraku mulai serak, beriringan dengan air mata yang menetes tidak terbendung.

"Namanya Baskoro. Dia teman Mama." Tampak Mama berusaha menjelaskan. Namun, aku sudah terlanjur kesal.

"Siapa pun dia, Jani tidak peduli, Ma. Yang Jani tahu, dia yang bikin Mama gak sempat sarapan bareng Jani, dia yang bikin Mama gak sayang sama Jani lagi. Mungkin saja dia punya niat buruk sama Mama dan Jani." Aku memberondong dengan racauan yang kacau.

"Apa-apaan, kamu, Nak? Om Bas itu orang baik. Gak boleh kamu ngomong seperti itu."

"Baik apanya? Dia mencium Mama di depan Jani, itu yang Mama bilang baik? Dia itu pria brengsek, Ma!"

"Jani, tutup mulutmu." Mama mengangkat sebelah tangannya, seperti hendak memukulku.

"Mama mau menampar Jani? Ayo, Ma ... pukul aja."

Kulihat Mama tertunduk dan kembali duduk, setelah tadi langsung berdiri mendengar ucapanku. Aku segera berlari ke kamar, meninggalkan Mama.

"Jani, Mama belum selesai." Mama mengikuti langkahku hingga ke depan pintu kamar.

"Apa lagi, Ma? Semua sudah jelas, 'kan?"

"Oke, Mama akui Mama salah, karena menyembunyikan hubungan Mama dengan Om Bas. Tapi itu ada sebabnya. Mama butuh waktu untuk menjelaskan kepadamu, Mama khawatir kamu tidak bisa menerima ini."

Aku hanya mendengkus pelan, mendengar penjelasan Mama. Mungkin Mama benar, tapi aku sudah terlanjur kecewa, menyaksikan perihal yang sungguh tidak pernah terbayangkan.

"Dan sekarang, kamu harus jawab pertanyaan Mama. Tidakkah kamu sadar, banyak yang berubah pada diri kamu?"

Aku terkejut, tidak siap dengan pertanyaan itu. Gelagapan kujawab, "Itu kan perasaan Mama aja. Sudahlah Ma, jangan mengalihkan masalah."

"Potongan rambut, beberapa kali pulang malam, dan akhir pekan tidak bersama Mama. Apa itu perasaan Mama aja?" cecar Mama.

"Sudahlah, Ma! Jani capek, Jani mau tidur."

Aku masuk ke kamar, lalu menutup pintu dan menguncinya. Aku mengempaskan tubuh ke kasur dan menutup kepala dengan bantal. Kuacuhkan kentukan pintu dan teriakan Mama di luar kamar.

Entah berapa lama aku dalam posisi itu, masih dengan pakaian lengkap, tertidur karena lelah menangis. Saat terjaga, kulihat dari jendela, suasana di luar sudah mulai gelap. Aku bangkit menuju kamar mandi. Keadaanku kacau sekali. Kepala pusing. Perut pun mulai terasa mual. Aku mandi dan berganti pakaian. Meski terasa lapar, tetapi aku enggan untuk keluar kamar. Di nakas, ada toples berisi biskuit. Kuambil beberapa potong, lumayan untuk pengganjal perut.

Aku tidak ingin bertemu Mama. Entahlah, mengingat kejadian tadi, rasanya aku ingin pergi saja. Mama sudah mengakui, bahwa benar ada hubungan khusus dengan pria itu. Entah siapalah namanya. Dan siapa pun itu, artinya dia akan memisahkan aku dengan Mama.

Tidak! Aku tidak bisa menerimanya. Mama tidak boleh berhubungan dengan pria mana pun. Apalagi itu, si Bas apalah tadi ya. Dia pasti bukan orang baik. Jangan-jangan dia sudah punya istri, trus mau jadiin Mama sebagai simpanannya. Lalu, nanti istrinya akan datang menyerang. Mama akan dicacimaki, atau bahkan mungkin, akan dipukul, dihajar.

Berbagai pengandaian muncul di benakku. Rasanya tak sanggup menghadapi jika apa yanh kutakutkan benar adanya.

Bukan Salah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang