Bukan Aku Tidak Ingin Berlabuh

17 2 0
                                    

Meeting progres pembangunan resor berjalan cukup lancar. Tiga setengah jam meeting tidak terasa lama mengingat cukup banyaknya materi yang harus disampaikan. Aku dan Reza bergantian memberikan presentasi, saling mengisi apabila ada pertanyaan atau kekhawatiran yang terlontar dari klien.

Pak Ivan tentu saja hadir di antara klien yang ikut mengamati jalannya presentasi. Puluhan panggilan serta pesan yang masuk ke ponselku berasal dari nomornya yang berhasil kuacuhkan dalam beberapa hari terakhir ini seketika buyar ketika bertemu dengan sosoknya di depan mataku langsung.

Untung saja Reza mengetahui kondisiku, mau tidak mau aku menceritakan kondisiku padanya agar dia tetap dapat bersiap-siap apabila terjadi sesuatu denganku, sehingga beberapa kali saat aku terlihat kehilangan fokus dan konsentrasi, rekan kerjaku itu dengan sigap langsung mengambilalih.

"Kita memang rekan kerja, tapi di luar ini lo kan teman gue. Jadi tenang saja, gue akan back-up lo kapanpun. Lo kasih gue kode saja," tawar Reza sesaat sebelum meeting dimulai.

"Gimana cara gue kasih kode ke lo? Nanti kan cukup banyak yang datang. Aneh banget enggak sih malah?" tanyaku heran.

"Tenang. Pakai kode pakaian saja, lo putar-putar kancing lengan blazer, berarti tandanya gue harus masuk."

Jadilah aku memutar kancing lengan blazer cukup sering sore ini. Sesuatu yang sedikit salah langkah.

"Mbak, Pak Ivan tanya apa baju Mbak Jani ada masalah?" bisik Ruth, sekretaris Pak Ivan, yang menggeser duduknya menjadi tepat di sebelahku, menggantikan Reza yang tengah melakukan sesi tanya jawab.

"Enggak ada masalah kok, Mbak. Baik-baik saja." Aku berusaha menahan diri untuk menatap balik ke arah Pak Ivan yang aku tahu pasti sejak tadi tidak melepaskan pandangannya dariku. 

"Bapak bilang, Mbak Jani sejak tadi memegang lengan blazer. Bapak pikir mungkin ada yang perlu dibantu. Mau saya carikan blazer lain Mbak? Kebetulan saya selalu bawa blazer lebih. Jaga-jaga kalau ada sesuatu."

"Oh, tidak apa-apa. Saya pasti tidak sadar melakukannya. Saya tidak apa-apa, kok," tolakku halus dalam hati berpikir ulang apakah gerakanku terlalu menarik perhatian.

"Enggak menarik perhatian kok, dia saja yang memang memperhatikan lo dari tadi." Gantian Reza yang berbisik di sebelahku di sela-sela presentasi yang dilakukan Pak Dani. Rupanya Reza sedikit mendengar percakapanku dengan Ruth sebelumnya.

Aku tidak membalas pernyataan Reza, sibuk dengan pikiranku sendiri. Ponselku bergetar dan beberapa notifikasi masuk serta muncul sekilas di layar.

"Tuh, dia kirim pesan pasti mau memastikan hal yang sama. Kalau gue ganti kode kita jadi garuk-garuk tangan juga dia pasti ngeh."

Aku menahan diri untuk tidak menjitak rekan kerjaku. Bisa-bisanya dia bercanda di situasi saat ini. Namun aku tetap membuka pesan yang baru saja masuk dan seperti biasa, menghapusnya tanpa perlu membaca isi pesan secara keseluruhan.

"Kalau tidak ada pertanyaan lagi, saya kembalikan ke Project Manager kita, Anjani. Silakan Anjani."

Aku menerima mic dari Pak Dani dan bersiap menutup sesi meeting hari ini.

"Saya ada pertanyaan untuk saudari Anjani."

Suara Pak Ivan.

Mau tidak mau aku menoleh ke arahnya, menghormati penanya. Pak Ivan menatapku lekat, membuat gemuruh di hatiku seperti ingin meledak. Tidak akan kusangkal kalau aku sungguh merindukan tatapannya.

"Silakan," jawabku berusaha terdengar tegas.

"Apabila semua proses pembangunan ini berjalan lancar, apakah saudari bersedia memegang proyek perusahaan kami lainnya?"

Aku melempar pandangan penuh tanya ke arah Pak Ivan. Apa sebenarnya maksud pertanyaan ini? Apakah ia ingin aku tetap berada di sekitarnya? Bukankah sudah jelas aku meminta untuk menjauh sementara waktu.

"Saya lihat saudari bekerja dengan baik dan rapi, saya yakin proyek lainnya akan sangat baik apabila saudari yang pegang," lanjut Pak Ivan kali ini ditutup dengan senyuman. Reza sukses menendang kakiku dari bawah meja, seperti mengingatkanku untuk tidak terhanyut. Aku juga memintanya untuk membuatku tetap sadar kalau-kalau aku melakukan hal bodoh. Seperti saat ini misalnya. Ingin aku berlari kemudian memeluknya, hanyut dalam senyuman yang diberikan.

"Saya pikir, semua tergantung dengan proyek apa yang akan dilakukan serta ketersediaan sumber daya manusia yang ada dan juga banyaknya tugas yang masuk. Saya tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut saat ini, ada terlalu banyak faktor yang mempengaruhi."

"Termasuk faktor personal?" lanjut Pak Ivan membuat semua hadirin yang ikut dalam meeting hari ini melempar pandang penuh tanya ke arahku.

"Bisa saja. Terkadang apabila ada masalah yang sangat mengganggu seorang pekerja, misalnya saja ada conflict of interest, akan lebih baik apabila tidak terlibat dalam proyek tersebut. Tidak akan baik untuk kedua belah pihak. Baik klien maupun konsultan."

"Saya pikir sebaliknya. Sangat tidak profesional untuk pekerja tersebut memasukkan emosi pribadi ke dalam ranah hubungan profesionalitas."

"Well, we can be agree to disagree then," jawabku berusaha diplomatis. Aku tidak ingin membantah pria itu lagi. Bisa-bisa aku yang akan menyerah nantinya. Pesonanya terlalu kuat.

Untung saja akhirnya Pak Ivan tidak memperpanjang permasalah tersebut dan aku dapat mengakhiri meeting dengan segera.

"Gue duluan ya Rez. Please cover," bisikku pada Reza sebelum melesat keluar ruangan. Selepas meeting sebenarnya masih ada sesi networking atau bahasa lainnya basa basi. Mengingat meeting diikuti oleh berbagai macam pihak, tidak hanya konsultan dan klien tapi juga vendor serta supplier lain, kami saling bertegur sapa untuk membahas kemungkinan kerja sama di proyek lain atau sekadar bertanya kabar perusahaan untuk saling menyimpan data.

Aku juga sudah berpesan pada Reza untuk menggantikanku saat sesi networking, dengan alasan lama yang selalu kupakai sebelumnya, tidak bisa pulang terlalu malam.

Ketika telah sampai di area parkiran, aku berhenti sejenak untuk mencari kunci mobil di dalam tas. Hari ini aku memakai tas yang cukup besar, sehingga membutuhkan waktu yang sedikit lebih lama dari biasanya untuk mencari kunci mobil. Terlebih lagi kebiasaanku melempar semua barang begitu saja masuk ke dalam tas, semakin memperparah kondisi berantakan isi tasku.

"Sudah mau pulang saja tanpa pamit?"

Pak Ivan. Aku lupa kalau dia bisa saja melewatkan acara networking dan langsung mengejarku ke parkiran. Seharusnya aku memakai jasa valet parking saja hari ini, sehingga tinggal menunggu di lobi. Atau sekalian naik taksi tanpa perlu membuang waktu mencari-cari kunci mobil.

"Ya, ada acara lain," bohongku tanpa menoleh ke arahnya.

"Sampai kapan kamu akan mengacuhkan semua panggilan dan pesan saya?"

"Beri saya waktu."

"Sudah dua minggu, Jani. Apa masih tidak cukup?"

Aku terdiam.

"Selama itu pula kamu masih tinggal di tempat Rani?"

"Itu bukan urusan Abang saya tinggal di mana."

"Tentu akan menjadi urusan saya kalau kekasih saya memiliki masalah dan saya tidak dapat membantunya. Setiap malam saya terpikirkan hal itu. Bagaimana saya bisa tidur nyenyak mengetahui kamu memiliki beban yang tidak ingin dibagi dengan saya?"

"Saya tidak akan mengulang perkataan saya. Tolong beri saya waktu."

Pak Ivan menghela napas dan aku memanfaatkan kondisi itu untuk meninggalkannya. Aku merasakan tatapannya lekat di punggungku. Tatapan penuh perhatian dan siap menerima keluh kesahku kapan saja.

Tapi aku tidak bisa menerima semua itu saat ini.

Tidak ketika hubunganku dengan Mama masih saja menggantung. Dan Pak Ivan membuatku ingat semua itu. Pak Ivan membuatku melakukan banyak hal yang tidak disetujui Mama.

Aku tidak tahu harus bersandar kepada siapa.

*** 

Bukan Salah CintaWhere stories live. Discover now