Bukan Kencan Pertama

55 3 0
                                    

Jadi—lo mau kencan sama Pak Ivan, ya?" Belum sempat aku mengangkat telepon dari Ivan, Rani berbisik di telingaku, saat dia mengintip panggilan masuk di layar ponsel.

"Lo balikan sama Pak Ivan, Jani?" Kali ini Reza ikut-ikutan memberondongku. Wajar saja, bisikan Rani di telingaku tadi, volumenya di atas standar berbisik. Jangankan Reza yang berada di belakang kami, jangan-jangan Sita di meja resepsionis itu juga mendengarnya.

Aku tidak menjawab pertanyaan kedua teman sejawat, sekaligus sahabatku itu. Hanya melambaikan tangan dan keluar kantor. Di parkiran, Ivan pasti sudah menungguku.

Benar saja, kulihat mobil Ivan sudah parkir di sana. Pria ini benar-benar disiplin, bukan hanya dalam bekerja, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari. On time.

"Maaf, Bang—"sesalku sesaat setelah mendudukkan tubuh di jok samping Ivan. "Tadi Rani ngajak saya makan siang, jadi butuh sedikit waktu untuk menolaknya."

"Gak apa-apa, saya juga baru sampai, kok. Oh, ya, kamu enggak bilang ke Rani, kalau mau pergi sama saya."

"Enggak, Bang—enggak enak."

"Sampai kapan kamu mau merasa enggak enak kayak gitu."

Aku tidak mengerti arah pembicaraannya. "Maksud Abang?"

Ivan menatap lekat ke arahku, dan tiba-tiba saja dia menarik tanganku ke dalam genggamannya. Aku tidak kuasa menolak. Di sudut kalbuku, bahkan ingin menyandarkan kepala ke bahunya.

"Haruskah kuulangi lagi? Aku masih dan akan selalu mencintaimu, kemarin, sekarang dan sampai nanti."

Kali ini jantungku tidak berdetak lebih cepat, tetapi nyaris berhenti. Kehangatan menjalar di sepanjang pembuluh arteri. Gelenyar aneh itu memporakporandakan keresahanku. Namun, tidak sepatah pun terucap dari bibirku. Hanya tatapan mata, lekat di mata pria itu.

"Sa-saya—"

Ivan mengatupkan bibirku dengan jarinya, "Tidak usah menjawab, saya tahu apa yang ingin kamu ucapkan."

Aku terkesiap. Percaya dirinya memang luar biasa. Tidak kunafikan itu. Dia sangat menarik.

"Cinta akan tahu, ke mana dia akan berlabuh." Tertular ketenangan Ivan, lancar saja aku mengucapkan itu.

Ivan membawa punggung tanganku ke bibirnya. Dikecupnya pelan.

"Sekarang kita makan dulu, ya. Menatap wajahmu bikin saya lapar, jangan sampai saya salah makan."

To the point pria di sampingku ini, membuat pipiku bersemu dan merona. Untung saja aku tidak memakai pemerah pipi, jika tidak tentu semakin membara rona pipiku.

Memang cinta tidak butuh banyak kata, resah dan rindu tertuang nyata dalam sikap dan gestur. Seketika semua gundah terjawab, gulana pun serta merta musnah. Tersaput kasih dan luruh bersama senyuman sang kekasih hati.

Menuju restoran, aku dan Ivan bergandengan tangan. Aku tidak peduli, jika dianggap kolokan atau sok mesra. Yang jelas, aku tidak ingin lagi berpisah. Cukup sudah masalah demi masalah yang harus kulewati sebelum ini. Saat ini aku hanya ingin menikmati kebahagiaan itu. Yang aku pun tidak tahu, apakah ini akan selamanya atau hanya sesaat saja.

"Maafin saya, ya Bang." Aku merasa terus bersalah telah mengabaikan perasaan Ivan selama ini.

"Hei, Cantik! Kamu pikir ini lebaran, dari tadi minta maaf melulu. Eh iya, kok rasanya masih kaku, kalau kamu ber 'saya' gitu. Ganti panggilan, yuk!"

"Trus aku harus panggil apa, Bang?"

"Nah, begitu kayaknya lebih dekat. Abang mau panggil kamu, Cantik aja ah!"

"Ih, apaan sih, lebay tahu!"

Kami pun tertawa, dan mulai menikmati hidangan yang sudah disajikan sesuai pesanan. Sesekali aku dan Ivan bersirobok pandang. Kemudian, kami pun kembali tertawa. Perjalanan cinta memang terkadang layak untuk ditertawakan. Ada hal-hal yang kita anggap bodoh, tetapi kemudian menjadi sangat bermakna, saat semuanya sudah dilalui.

Cinta selalu penuh tanda tanya, meski tidak pernah ada jawaban yang sempurna. Karena setiap orang akan berbeda memahaminya. Tidak ada juga gunanya berandai-andai, agar jalan yang kita lalui tidak salah. Bahkan ketika harus salah memilih cinta, itu pun tidak layak untuk dipersalahkan.

Tidak pernah tahu, seberapa besar aral dan hadang yang harus dihadapi dalam menemukan cinta sejati. Terkadang harus mengalami kegagalan berkali-kali. Namun, lagi-lagi tidak layak mempersalahkan cinta. Karena memang bukan salah cinta.

Contohnya Mama dan Om Baskoro, mereka sama-sama pernah mengalami kegagalan, tapi bukan berarti cinta yang dipersalahkan. Hanya saja dia tidak datang pada sisi yang tepat, hingga kebahagiaan tidak tercipta.

Bukan juga berarti, Mama dan Om Baskoro tidak layak untuk membina cinta yang baru, meski keraguan dan kebimbangan kerap menerpa. Kekhawatiran akan masa lalu menjadi momok untuk menciptakan rasa yang baru.

"Gimana Mamamu?" tanya Ivan saat kami dalam perjalanan pulang ke kantor.

"Baik-baik aja, dan saat ini Mama juga udah baikan sama Om Baskoro."

"Wah, berita bagus itu. Mama memang berhak bahagia."

"Tapi, aku juga tidak tahu kelanjutannya. Cuman kemarin, Om Bas memberitahu bahwa mereka makan siang bersama."

"Jadi, kamu dan Om Bas udah baikan juga? Wah banyak hal yang Abang enggak tahu, nih."

"Aku akan ceritakan semuanya, apa yang sudah terjadi." Aku menatap lekat pria di sampingku.

"Abang akan siap mendengarkanmu. Asalkan kamu percaya."

"Aku percaya padamu, Bang—karena dalam cinta kudu ada saling percaya, 'kan?"

Kembali kami bertatapan, mesra tentunya.

"Oh ya, satu lagi, Cantik—ada yang harus kamu tahu."

"Apa, Bang?" tanyaku sembari mengernyitkan kening.

"Kapan pun kamu siap, Abang ingin secara resmi mengenalkanmu pada keluarga Abang. Walaupun mereka pernah bertemu denganmu ketika ulang tahun Ibu, tapi 'kan waktu itu kita belum jadian."

"Dan Abang, tanpa memberitahu aku, ngenalin ke Ibu, pura-puranya sebagai pacar Abang 'kan?"

Kami tertawa mengingat kejadian itu.

"Sebenarnya tidak sepenuhnya berpura-pura, jika saja kamu mengiyakan saat itu, maka apa yang Abang katakan itu serius. Karena Abang sudah jatuh cinta saat kita pertama kali bertemu di depan toilet. Waktu kamu survey lokasi bersama Pak Dani."

"Ha?" Tentu saja aku terkejut mendengar pernyataannya yang baru aku ketahui.

"Kamu percaya, bukan?" tanya Ivan lagi.

"Ya, aku percaya. Aku percaya ada cinta pada pandangan pertama."

"Tapi sayangnya, cinta itu butuh waktu yang lama untuk menemukan jalannya, bahkan sempat ditolak dan dilupakan," ucap Ivan.

"Cinta itu butuh perjuangan, Butuh waktu untuk pembuktian," kilahku.

"Dan Abang sudah membuktikan, bahwa Abang tidak salah memilih cinta."

Genggaman jemari yang saling bertaut, menguatkan rasa di antara kami. Tanpa terasa kebersamaan pun harus berakhir sementara. Kami sudah tiba di kantorku. Meski enggan untuk berpisah, tetapi aku harus tetap masuk kerja. Kalau mengikuti kata hati, ingin rasanya berlama-lama dengan pria tampan di sampingku ini.

Emangnya kantor punya Bapak lo, yang seenaknya lo masuk dan keluar sesuka hati. Aku membatin, mentertawakan diri sendiri.

Bukan Salah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang