Bukan Mau Melamar

26 2 0
                                    

Ketika aku tiba di rumah sore itu, tidak kutemui Mama di rumah. Secarik kertas yang ditempelkan di pintu kulkas, tempat kami bertukar berita, aku baca.

Mama pulang agak malam hari ini, ya. Ada persiapan untuk pengadaan katering acara lamaran besok. Ada makanan di meja. Di kulkas juga sudah Mama siapkan smoothies, terserah mau makan yang mana.

Mama

Alhamdulillah, Mama sudah kembali sibuk beraktifitas. Aku turut senang mendengarnya. Tentunya sekarang aku tidak perlu khawatir juga kalau Mama bekerja hingga malam. Toh, ada Om Bas yang akan menjaga Mama.

Aku memilih smoothies untuk makan malam kali ini. Tadi siang aku dan Rani sudah makan cukup banyak. Jadi satu gelas smoothies sudah cukup untuk mengimbangi karbo yang  masuk ke lambungku tadi siang.

Seusai mandi dan salat Magrib, kuputuskan untuk nonton TV. Benda yang hanya sesekali beroperasi itu, terpajang rapi di ruang tengah. Jarang sekali aku, ataupun Mama nonton TV. Mungkin karena kesibukan kami, dan kalau pun ada waktu senggang di rumah, lebih banyak menghabiskannya dengan memasak bersama atau merawat taman bunga Mama.

Aku tertawa sendiri menyaksikan penampilan Vincent dan Desta dalam Tonight Show, dua sahabat yang sudah berkolaborasi cukup lama di dunia entertain itu, sungguh menarik. Kekompakan dan kemistri di antara keduanya sungguh menginspirasi. Kemudian tiba-tiba dikejutkan oleh dering ponsel di sampingku.

Aku membuka layar telepon pintar itu, dan—

Ivan. Terkejut aku membaca nama yang tertera pada panggilan masuk itu. Sudah cukup lama, kami tidak berkomunikasi. Kenapa tiba-tiba saja pria itu menghubungiku? Aku masih ragu untuk membuat keputusan, diangkat atau tidak. Ada sisi gengsi untuk menerima panggilannya. Namun, di sisi lain, hatiku begitu merindukannya. Dan akhirnya—

"Ya, halo." Aku berusaha menjawab telepon itu dengan suara setenang mungkin.

"Malam, Jani. Apa kabar?" Suara tegas tapi lembut itu membuat jantungku seakan berhenti berdetak. Kuatur nafas sedemikian rupa, agar tidak terdengar getaran suaraku.

"Baik—Abang gimana?" Oh My God. Aku merasa wajahku memerah. Untung saja Ivan tidak melihat rupaku saat ini.

"Kalau saya bilang, baik-baik saja, pasti saya bohong. Karena sejak kamu memutuskan hubungan tanpa penjelasan itu, saya sudah tidak baik-baik saja."

Aku terdiam, lidahku mendadak kelu. Andai kau tahu, aku pun merasakan hal yang sama.

"Maafkan saya, Bang." Hanya itu yang terucap.

"Hanya itu? Jika saya mengajakmu makan siang besok, kamu bersedia?"

Kembali aku terdiam. Rindu dan rasa malu berseteru di kalbu. Namun, cinta harus diungkapkan, jika dipendam, kelak akan jadi penyesalan. Terngiang ucapan Reza di kantor tadi, kalau Pak Ivan jadian ama cewek lain, nangis bombay lo!"

Tidak! Aku tidak mau nangis bombay, nangis bawang putih aja. Duh, kok malah mikirin bumbu dapur. Kutepuk dahiku, mengingat bahwa di seberang sana Ivan sedang menanti jawabanku.

"Kalau kamu belum siap untuk ketemu saya, tidak apa-apa. Jangan memaksakan diri." Suara pria itu lagi-lagi bikin meleleh perasaanku.

"Tidak, Bang!" Segera kujawab tanyanya.

"Maksudnya? Kamu tidak bersedia pergi denganku, Anjani?"

Aku salah bicara.

"Bukan i-itu, saya mau, Bang." Ya ampun, kenapa aku jadi salah tingkah begini.

"Kamu tahu, Jani—andai kamu ada di sini, saya akan peluk kamu."

"Ih, Abang apaan, sih!"

Aku seperti gadis remaja yang baru mengenal cinta. Perasaanku membuncah. Sulit untuk diungkapkan. Yang pasti, tidak sabar rasanya menunggu mentari esok pagi, agar segera hari membawaku berlari. Bertemu sang kekasih hati.

Di luar sana, hujan mulai membasahi bumi. Aku menyenandungkan lagu milik Tamia, Officially Missing You

I hear is raindrops

Falling on the rooftop

Oh baby tell me why'd you have to go

Cause this pain I feel

It wont go away

And today

I'm officially missing you

Aku resmi merindukanmu, Ivan—aku masih senyum-senyum sendiri, ketika tanpa kusadari Mama sudah berada tidak jauh dari tempatku berdiri. Tentu saja aku kaget.

"Mama—ih kok gak pake ketuk pintu, sejak kapan Mama pulang?"

"Lah, hari hujan begini, ya kamu gak bakal dengar kalau Mama ketuk, lagian Mama 'kan bawa kunci sendiri. Eh tapi, bentar ... kok wajahmu berseri-seri gitu? Trus tadi juga Mama dengar kamu sedang nyanyi. Hayo, cerita dong sama Mama."

"Enggak ah, Jani enggak kenapa-napa, kok. Mama tuh sok tahu,ih." Jujur saja, aku salah tingkah di depan Mama.

"Ya, udah ... biasa aja, enggak usah gelagapan gitu. Oh ya, kapan nih Mama dikenalin ama calon mantu."

Ya ampun, Mama kok to the point gini ya. 'Kan aku makin tidak karuan.

"Udah, ah ... Jani ngantuk, tidur dulu, ya, Mama Sayang." Buru-buru aku mencium pipi Mama, sebelum interogasi berlanjut.

Bukannya aku tidak mau bercerita pada Mama, hanya saja masalahnya, hubunganku dengan Ivan belum ada kejelasan lagi. Dia 'kan Cuma mengajak aku makan siang, bukannya mau melamar. Kenapa juga Mama ngomongin soal calon mantu segala. Duh, tengsin ah.

Tunggu saatnya, Ma—akan kuceritakan semua pada Mama. Semuanya. Aku membatin, merasa bersalah tidak berterus terang pada Mama.

***

Di kantor, aku mulai gelisah, saat arloji di tangan kiriku menunjukkan angka sebelas tepat. Sebentar lagi, waktu istirahat tiba. Artinya, aku akan bertemu dengan Ivan, sang pujaan. Detak jantung kembali tidak menentu, layaknya gadis yang menghadapi kencan pertama.

Hei, Jani ... ini makan siang, Non! Batinku mengingatkan. Aku jadi tersenyum malu menyadari kebodohanku.

"Anjani!" Suara cempreng Rani mengejutkanku. Entah sejak kapan makhluk manis ini ada di depanku.

"Kok gitu banget ngeliatin muka gue, biasa aja lah." Aku mengibaskan tangan tepat di depan wajah Rani.

"Gimana gue kagak heran, gue khawatir banget lihat lo senyum-senyum gitu."

"Masa sih? Perasaan gue biasa aja, kok." Aku menutupi rasa malu, ketahuan lagi menghalu.

"Pasti ada sesuatu, cerita dong, yuk sambil makan siang, gue traktir lo, deh," ajak Rani. Dan tentunya terpaksa kutolak.

"Maafin gue, Ran ... gue udah janji," tolakku halus. Walau ada rasa tidak enak hati menolak ajakannya, tetap harus kulakukan.

"Janji? Ama siapa?" Jani mencecar dengan penuh rasa ingin tahu.

Aku tersenyum, tidak segera menjawab. Sengaja mengulur, agar Rani semakin penasaran.

"Ada deh ...."

"Dengan Om Baskoro, ya? Bukannya kamu bilang, Mamamu dan Om Baskoro udah balikan," tebak Rani.

"Yuk, jalan bareng aja sampai ke lobi," ajakku, " Rez, temani Rani tuh, ntar dia dibawa lari berondong kalau makan sendiri."

"Lo mau traktir gue, Ran? Hayyuk, gue sih iyess." Reza bergegas mengikuti langkah kami keluar dari ruangan. Sedangkan Rani, mencebikkan bibirnya ke arah Reza.

Sesampai di lobi, ponselku kembali berdering. Ivan.

Bukan Salah CintaWhere stories live. Discover now