Bukan Salah Mama

17 2 0
                                    

Kami sudah tidak pernah berkomunikasi lagi, Jani." Om Baskoro melanjutkan penjelasannya.

"Maksud Om?" Aku bertanya tidak sabar menanti.

"Sejak kamu pergi dari rumah, Ratri berubah drastis. Dia bahkan banyak menolak orderan katering. Mamamu lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah. Om berusaha menghiburnya. Om juga menyarankannya untuk menemuimu."

"Mama tahu keberadaanku?" Aku menyela ucapan Om Bas.

"Ya, Rani yang mengabarinya."

"Jadi—" Dari kejauhan aku menatap gemas pada Rani. Ternyata diam-diam dia menghubungi Mama.

"Tidak perlu menyalahkan Rani." Om Baskoro seolah membaca pikiranku.

"Lalu, kenapa Mama tidak menemuiku?"

"Apakah kamu ingin ditemui?" Om Bas malah menjawab retorik. "Ratri memahamimu, makanya dia memutuskan untuk tidak datang ke apartemen Rani. Walaupun teramat ingin dilakukannya. Apa lagi saat dia tahu, kamu sakit. Setiap hari dia menangis, menanyakan kabarmu pada Rani. Kamu bisa bayangkan, bagaimana rasanya berada pada posisi itu."

Netraku kembali menghangat. Aku benar-benar rindu pada perempuan terkasih itu.

"Om mengerti mengapa Ratri menahan diri untuk tidak menemuimu. Dia tidak ingin, kehadirannya, membuat kamu jadi terbebani. Dia tidak ingin kamu merasa dikendalikan olehnya."

Om Baskoro meletakkan alat pancingnya, lalu mengajakku untuk bergabung bersama Rani.

"Kita ngobrol sambil makan, yuk! Kasihan tuh teman kamu udah kelaparan."

"Eh, iya Om."

Om Baskoro meminta pelayan untuk memindahkan menu pesanannya ke meja kami. Kemudian kami bertiga menikmati ikan bakar yang masih mengepulkan asap.

"Maaf ya, Ran ... kamu harus menahan lapar menunggu kami," ucap Om Baskoro.

"Eh, selow Om, enggak apa-apa kok."

"Ran, elo berhutang penjelasan yang banyak ama gue."

"Penjelasan apaan?" Rani bertanya seolah tidak mengerti.

"Gak usah sok polos gitu, deh," rungutku, yang dibalas tawa oleh Rani.

"Apa pun yang gue lakukan, itu karena gue sayang ama lo. Itu yang harus lo tahu."

Om Baskoro ikut tersenyum melihat keakraban kami. Kemudian dia mengajak kami untuk menyantap hidangan hingga tidak bersisa. Meskipun waktu makan siang sudah terlewat jauh, tidak mengurangi kenikmatan siang itu.

"Anjani, ada satu hal yang harus kamu tahu. Bahwa Mamamu tidak pernah bermaksud untuk mengatur dan mengekang kebebasanmu. Apa yang dilakukannya selama ini, adalah upaya untuk menjaga dan melindungimu. Dia tidak pernah keberatan atas hubunganmu dengan Ivan, hanya saja dia harus tahu dulu, siapa Ivan. Ratri tidak ingin, apa yang pernah dialaminya, terulang kembali pada diri kamu. Dia mengakui, teramat gegabah dalam memilih pasangan ketika itu, hingga setelah menikah, banyak hal-hal yang di luar impiannya, terjadi."

Aku mendengkus pelan, menyimak ucapan Om Bas. Kelebat bayangan masa kecilku seakan muncul kembali. Air mata yang selalu kulihat, setiap malam sebelum tidur di saat Mama memelukku. Waktu itu, aku sama sekali tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

"Itulah yang menjadi sebab, mengapa Mamamu benar-benar ingin melindungimu. Dia juga menyadari, akibat dari over protective-nya terhadap dirimu, membuat kamu tumbuh menjadi gadis yang selalu bergantung padanya. Padahal, apa yang dilakukannya, hanyalah ingin membahagiakanmu."

Kembali netraku menghangat, dan kurasakan ada bulir bening mengalir pelan.

"Tapi, Mama baik-baik aja, 'kan, Om?"

"Seperti yang Om bilang tadi, Om sudah lama tidak bertemu Ratri. Sejak dia merasa bersalah atas kepergianmu, Ratri memutuskan hubungan kami." Om Baskoro bangkit dari tempat duduknya. Terlihat dia berusaha menyembunyikan kegusaran yang tampak nyata di wajahnya.

"Mulanya Om tidak terima. Tidak seharusnya dia mengorbankan kebahagiaannya. Tapi Om sadar, bagi Ratri kebahagiaanmu adalah sumber kebahagiaannya. Jika hubungan kami membuatmu kecewa dan marah, maka tidak ada gunanya Om dan Mamamu melanjutkan hubungan ini."

"Sebenarnya, aku juga tersiksa dengan kondisi ini, Om. Aku merasa bersalah, karena memperturutkan keinginanku, yang membuat Mama kecewa. Aku berubah, tidak lagi menjadi Anjani, anak Mama yang patuh, yang selalu ingin membuat Mama tersenyum. Aku megubah gaya rambutku, aku melewati akhir pekan bersama Mama, bahkan aku pacaran. Aku sudah mengecewakan Mama." Aku tidak mampu mengendalikan emosi, air mata yang tadi menitik pelan, kini tumpah tidak lagi dapat ditahan.

"Kamu persis seperti Ratri. Merasa bersalah dan menangis, lalu mengambil keputusan atas kesimpulan sendiri. Mamamu justru senang jika memang kamu ada kecocokan dengan Ivan. Tidak ada ibu yang tidak bahagia di saat anak gadisnya beranjak dewasa, dan menemukan cinta sejatinya."

"Benarkah itu, Om? Mama tidak membenci Ivan?"

"Tentu saja tidak, hanya saja Mamamu menyesali, kenapa kamu tidak berterus terang kepadanya. Itu saja."

"Tapi, Mama juga tidak jujur padaku, Mama tidak pernah cerita soal Om Bas."

"Mamamu punya alasan tersendiri, kenapa belum mengatakannya kepadamu. Kamu tahu, kenapa?" Om Baskoro malah bertanya. Aku hanya menggeleng, lalu menanti kelanjutan penjelasan pria itu.

"Karena Ratri sendiri belum yakin dengan hubungan kami. Om tahu, dia sangat berhati-hati sekali untuk memulai sebuah komitmen.  Kegagalan pernikahan sebelumnya, menjadi trauma baginya untuk memulai sebuah hubungan baru. Om akan tetap sabar menantinya, walaupun hari ini, Om gagal. Namun, Om yakin, jika memang takdir menuliskan Om dan Mamamu berjodoh, maka Insyaallah akan dipersatukan."

Kekagumanku bertambah pada pria ini. Luar biasa, hanya dalam beberapa jam, mampu mengubah image-ku terhadap dirinya.

"Terus, apa yang akan Om lakukan?"

Om Baskoro malah tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaanku. Tentu saja aku heran, hingga kedua alis nyaris bertaut.

"Lucu kamu, Anjani ...."

"Apanya yang lucu, Om?" Aku makin heran.

"Harusnya kamu fokus dengan masalahmu, dan berupaya agar semua kembali seperti semula. Kamu enggak ingin pulang?"

Aku memutar bola mata, menatap tajam pada Om Baskoro. "Pertanyaan aneh!"

Sejurus kemudian, kami tertawa bersama. Aku merasa semakin dekat dengan pria ini. Karakternya yang humble dan supel, membuat betah berlama-lama ngobrol dengannya. Pantas saja Mama jatuh cinta pada pria ini.

"Om cinta sama Mama?" tanyaku sesaat setelah kami berhenti tertawa.

"Itu juga pertanyaan aneh, Anjani, tapi Om akan jawab. Om mencintai Ratri lebih dari Om mencintai diri sendiri."

So sweet banget. Rugi besar jika Mama menolak cinta pria ini.

"Lalu, kenapa Om nurut saja, waktu Mama mutusin hubungan, dan kenapa juga enggak diperjuangkan cintanya?"

"Anjani, Om dan Mamamu sama-sama dewasa. Bagi kami, cinta itu semesta. Terlalu luas sifatnya. Bersama bukanlah pembuktian dari sebuah rasa cinta. Refleksi dari cinta itu adalah bahagia. Untuk apa bersama jika akan ada hati yang terluka. Merelakan berpisah demi rasa cinta, itu jauh lebih bermakna."

"Ah, bingung aku, Om." Aku tidak mengerti jalan pikiran orang tua. Apakah begitu model bercinta orang zaman dulu, ya. Ada yang bilang, kalau dulu itu, melihat atap rumahnya saja, terobati rindu dan gelisah. 'Kan aneh. Kalau rindu itu, obatnya ya harus bertemu. Entahlah.

Bukan Salah CintaWhere stories live. Discover now