Perasaan Bukan Untuk Disangkal

19 3 0
                                    

Pertemuan dengan pria paruh baya itu membuat suasana hatiku kacau hari ini. Padahal, melirik dari jadwal kerjaku hari ini, banyak sekali deadline yang harus diselesaikan. Mulai dari permintaan desain, pengumpulan dokumen untuk tender sampai pengecekan progres yang tengah dibangun.

Ah progres resor.

Aku menutup muka dengan kedua tangan. Bagaimana bisa aku lupa dengan proyek yang tengah kupimpin ini. sudah hampir tiga bulan berjalan dan progresnya masih belum terlihat nyata. Kami masih saja berkutat di area material bangunan apa yang akan dipilih. Padahal seharusnya masalah ini sudah selesai di bulan pertama. Pak Ivan benar-benar sangat detail, tidak salah apabila resor-resornya selalu dipenuhi pengunjung. Faktor kenyamanan dan desain saling mendukung.

Duh, melayang rasanya dapat perhatian dari kekasih hati.

Ucapan Pak Ivan tiga hari lalu ketika aku tengah kalut menyetir sendirian tiba-tiba terngiang di kepalaku. Sejak hari itu, kami belum bertemu lagi. Namun, pria itu tidak pernah absen mengirimiku pesan. Aku berpikir dia tahu aku sedang tidak ingin diganggu, jadi memilih menghubungi dengan cara itu.

"Jani, deadline pemilihan material untuk bungalow nanti jam tiga. Sudah ada feedback dari supplier belum ya?"

Aku mendongak, Reza melambaikan tangan di hadapanku. Sepertinya dia sudah cukup lama melakukan itu, terlihat dari mimic mukanya yang terlihat sedikit kesal. Reza memang menjadi co-project manager untuk proyek yang tengah kupegang ini.

"Belum ada," jawabku lemah. Sekilas tadi aku sudah mengecek cepat inbox e-mail dan tidak ada satupun surel masuk dari supplier yang dimaksud Reza.

"Lo sudah hubungi mereka?" kejar Reza lagi. "Soalnya mereka hanya mau diskusi dengan project manager, gue sudah coba hubungi mereka minggu lalu."

Aku menepuk kepalaku dan melempar muka paling bersalah yang bisa kubuat ke arah Reza.

"Ampun deh, Jani. Lo kenapa sih?  Mati deh kita dicecar Pak Ivan sore nanti." Reza membalas tatapanku dengan memelas.

"Gue hubungi sekarang. Wait ya," ujarku cepat. Aku meraih ponselku dan mencari-cari nomor supplier yang dimaksud. "Griya Tawang kan?" tanyaku sambil memijit tombol hijau di layar ponsel. Reza mengangguk dan melipat kedua tangan di hadapanku, menunggu pembicaraan yang akan terjadi,

Lima belas menit pembicaraan yang terjadi tidak menghasilkan informasi yang signifikan. Supplier masih belum menemukan bahan material yang diinginkan Pak Ivan. Pak Ivan menginginkan batu koral sebagai salah satu bahan yang digunakan untuk membangun bungalow. Ketersediaan batu koral saat ini tidak terlalu banyak di pasaran, sehingga supplier sedikit kesulitan untuk memenuhi permintaan. Apesnya lagi, tidak ada material substansi untuk batu koral atau yang mendekati kekuatan sekaligus keindahannya. Mau tidak mau, harus menunggu sampai material tersebut tersedia kembali.

"Kalau masih enggak ada, proses pembangunan kita bisa hanya berputar-putar di area taman," simpul Reza yang sekarang duduk di sebelah meja kerjaku.

Aku mengangguk. "Gue benar-benar lupa minta feedback supplier kemarin, kalau saja dari kemarin gue tanya dan mereka enggak ada, kita masih punya waktu cek ke supplier lain kan," ujarku menyalahkan diri sendiri.

"Masih ada waktu beberapa jam. Gue bisa coba hubungi beberapa supplier lain dan lo bagian tenangin klien ya, minta tambahan waktu kalau bisa."

"Tenangin klien? Maksud lo?" tanyaku bingung.

"Ya hubungi Pak Ivan dan coba minta perpanjangan waktu. Lusa deh setidaknya."

Aku membelalakkan mata. "Lo gila apa? Kayak enggak pernah lihat dia saja setiap meeting. Kita telat saja kena sindir, mana mungkin mau memberikan keringanan waktu," balasku setengah bergidik. Pak Ivan bukan saja detail, tapi tegas dan disiplin.

Bukan Salah CintaWhere stories live. Discover now