STRATEGI SADEWA (part 2)

10 1 0
                                    


"Mau ya, Kal?"

"Nggak!" jawabnya singkat, padat, dan jelas.

Aku menghembus nafas. Sial banget malam ini. Tapi aku nggak boleh menyerah begitu saja. Itu bukan sifatku. Seperti yang telah diajarkan papa, bahwa aku tidak boleh menyerah bila aku menghadapi sebuah masalah. Dan keangkuhannya yang sekarang jadi masalahku.

Yesss, Sadewa. Hari ini kamu boleh kalah. Tapi besok kamu harus meyakinkan dia lagi tekadku dalam hati.

Dia mengambil piring dan gelas yang sudah berada di atas penampan, kemudian beranjak pergi. Akupun melirik arlojiku, dan waktu sudah menunjukkan pukul 20.30. Aku segera pulang sebelum mama meneleponku dan motorku menjadi lama disita papa. Aku keluar kafe dengan langkah gontai. Aku sengaja membuat diriku terlihat lesu, karena aku tahu dia memperhatikan aku secara diam-diam. Kalova, hari ini aku bisa kalah. Tapi besok aku akan kembali dan meyakinkanmu lagi untuk menjadi guru privatku. Aku sedikit aneh, kenapa aku melakukannya. Namun, aku hanya ingin mengikuti bisikan hatiku.

***

Sesampai di rumah, aku melihat papa dan mama telah berada diruang tv bersama si kembar. Aku mencium tangan Papa dan Mama. Mama tersenyum melihatku. Aku pun balas tersenyum dan aku melirik ke arah papa. Semakin hari papa semakin pucat dan lelah. Apa karena penyakit itu?.

Karena kondisi badan yang lengket berkeringat sejak tadi siang. Aku pamit untuk ke kamar membersihkan diriku dan tidak ikut bergabung duduk bersama di ruang keluarga. Papa hanya mengangguk, mama cepat menyuruhku mandi. Tak lupa aku menggoda si Kembar, yang membuat teriakan keduanya. Itu membuatku terkekeh. Memang enak kalau di rumah ada si kembar yang bisa digodain.

Sesampai di kamar aku pun segera mandi dan membersihkan badanku yang telah lengket oleh keringat dan debu. Di bawah guyuran shower air, aku terus berpikir bagaimana mugkin membuatku penasaran. Semua penolakannya seolah-olah itu adalah ajakan untuk terus mengejarnya. Aku selalu mengingat setiap detil wajahnya saat kami berpapasan di ruang guru dan di kafe. Itu membuat tarikan garis bibirku melengkung ke atas. Ya ampun, kenapa aku begini, bayangan Kalova tidak mampu kuhempaskan untuk pergi dari pikiranku. Dan itu membuat detak jantung bergetar dan hatiku membisikan namanya yang terdengar indah.

Setelah keluar dari walk in closet milikku dan memakai baju santai untuk tidur. Terdengar ketukan dari luar pintu kamarnya. Aku membuka pintu dan ternyata Mama. Mama masuk kekamarku dan melihat tasku yang kulempar ke kasur dengan sembarangan.

"Kamu ini! masih saja sembarangan menaruh barang!" mama mengambil tasku dan menaruhnya di meja belajar.

"Kalau di lihat sama adik-adikmu gimana?" omel mama dan berdiri sebentar di depan meja belajarku sambil melihat foto kami sekeluarga.

Foto yang di ambil saat kami berlibur ke Singapura dan di taman hiburan Disneyland. Saat itu adalah hari ulang tahunku yang ke 12 tahun dan bertepatan dengan kelulusanku dari Sekolah Dasar.

Papa dan mama begitu bangga melihat nilaiku. Walaupun aku tidak menjadi juara umum seperti waktu tamat SMP. Namun, aku meraih prestasi lima besar terbaik umum di sekolah. Papa dan Mama mengatakan padaku bahwa aku boleh meminta hadiah apa aja untuk prestasiku. Dan aku meminta liburan ke Disneyland sekaligus merayakan ulang tahunku. Papa dan mama menyanggupinya. Akhirnya aku meminta kami berlibur sekeluarga di Disneyland.

Saat itu juga sempat terjadi kehebohan. Aku sempat terpisah dari rombongan dan ternyata aku tertidur di bangku salah satu tempat belanja karena aku yang sangat kelelahan berkeliling menemani Mama yang berbelanja yang katanya buat oleh-oleh keluarga ditanah air. Sedangkan si kembar yang baru mulai berjalan, tetap aman di kereta dorong.

Mama mengelus bingkai foto itu. wajah mama tampak sedih. Aku tak tahu yang dipikirkan mama. Tapi aku merasa mama seperti menyimpan sesuatu yang membuat hatinya begitu sangat menyakitkan dan sedih.

Aku memeluk mama dari belakang dan menaruh daguku di pundak mama.

"Ada apa sih, mama sayang. Kok wajahnya kayak sedih gitu," tanyaku.

Aku memang sangat manja dengan mama. Semua orang anggota keluarga dirumah ini sangat manja dengan mama. Mama tersenyum dan mengelus rambutku yang masih basah.

"Mama hanya teringat waktu itu. Kami sangat cemas sekali saat kami kehilangan kamu. Papa yang paling khawatir saat itu. Hampir saja Papa mau berantem sama Polisi Singapura karena merasa bahwa mereka lambat sekali penanganannya untuk mencari kamu. Papa sendirian enyusuri setiap jalan yang ada bersama kamu," mama masih mengelus puncak kepala yang masih bersandar di Pundak mama.

"Bahkan papa belum kembali ke penginapan walaupun hari sudah malam. Papa terus saja mencari kamu sampai dia tidak ingat makan dan minum. Padahal papa yang sangat cemas tapi mengatakan jangan khawatir kepada Mama" sekilas tarikan bibir mama melengkung keatas mengingat kejadiaan saat itu.

"Kata papa saat itu, walaupun seluruh sudut kota singapura bahkan sampai lubang semut pun Papa bongkar. Papa tidak menyerah dan tetap mencari kamu," ujar mama dengan mata berkaca-kaca.

"Untung saja tidak sampai tengah malam. Pihak kepolisian menelepon Papa dan mama bahwa kamu sudah diketemukan disalah satu tempat belanja. Mama sangat merasa bersalah saat itu karena terlalu asyik belanja. Tapi papa tidak menyalahkan Mama," tangan mama terus mengusap bingkai foto itu.

"Mama sangat terharu. Itulah saat papa menunjukkan emosinya, karena saat itu papa memeluk kamu sambil meneteskan airmatanya. Papa sangat jarang menunjukkan emosinya. Papa hanya menunjukkan emosinya hanya saat kamu dan si kembar lahir. Juga saat kamu hilang," cerita Mama sambil terus mengusah bingkai foto yang berada di atas meja belajarku.

Aku melepaskan pelukanku. Karena mama memukul pelan tanganku untuk meminta melepaskan pelukannya.

Aku mundur beberapa langkah dan duduk di pinggir ranjangku. Sedangkan mama menarik kursi belajarku dan duduk disana.

"Gimana proses pencarian guru privat kamu, Wa? Apakah sudah kamu dapatkan guru privatnya?" tanya mama.

Aku menunduk sejenak.

"Sadewa sudah mendapatkannya Ma. Dia adalah juara 2 umum di sekolah," ujarku.

" Dia bersedia memberikan waktunya untuk mengajarkan Sadewa privat. Tapi dia harus melihat skedulnya terlebih dahulu karena dia juga harus berkerja part time di luar sekolah Mam," jelasku dengan sedikit gugup.

Padahal seharusnya aku jujur pada mama bahwa sebenarnya Kalova telah menolakku. Tapi kenapa aku begitu yakin mengatakan demikian kepada Mama bahwa Kalova bersedia. Damn, aku telah berbohong kepada Mama, tapi kok bisa mengatakan Kalova setuju.

"Ya, sebaiknya kamu cepat melaksanakan belajar privat. Karena kamu harus menaikkan nilai-nilai kamu. Mama tahu kamu seharusnya menikmati masa muda kamu. Tapi kamu adalah anak lelaki harapan kami juga pengganti kami bagi adik-adikmu," ujar mama menjelaskan apa yang ada dipikirannya.

"Karena cepat atau lambat, beban tanggung jawabmu sebagai anak tertua juga pengganti papa dan mama dalam menjaga adik-adikmu akan datang, Wa!" tutur mama, sambil mengusap air matanya yang mulai mengalir di pelupuk matanya. Namun segera di hapusnya agar tidak terlihat olehku.

Namun, terlambat. Aku telah melihatnya dan itu membuatku merasa bersalah karena membohongi Mama bahwa Kalova telah setuju. Aku hanya bisa terdiam dan tak mampu berkata apapun untuk menjelaskan kepada Mama. Karena aku tak mau melihat Mama sedih bahwa anak lelakinya tak bisa menjadi harapannya.

.....

Kalova & SadewaWhere stories live. Discover now