NOVELTY 26: Temaram Malam

131 20 47
                                    

Arsen

Dari dulu ayah adalah sosok yang tertutup, baik saya, Mamah atau Dinan tidak ada yang tahu apa yang ada di dalam pikirannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dari dulu ayah adalah sosok yang tertutup, baik saya, Mamah atau Dinan tidak ada yang tahu apa yang ada di dalam pikirannya. Jika kalian bertanya apa Mamah mengetahui hal yang mungkin saya dan Dinan tidak ketahui, maka jawabannya adalah iya.

Ayah adalah orang yang cenderung menyembunyikan pikiran dan perasaannya ketika berada di tengah banyak orang. Entah serunyam apa pun masalahnya di tempat kerja, beliau tidak pernah membawanya ke rumah. Ayah akan selalu menjadi ayah yang senang bercanda sepulang bekerja entah serumit apa pun masalah di pekerjaannya. Karena baginya, keluarga adalah obat dari segala masalahnya. Bukan tempat pelampiasan.

Dulu, saya pernah mendengar bisik pembicaraan Ayah dan Mamah ketika larut malam. Lebih tepatnya ketika saya dan Dinan juga Esa sudah tertidur. Namun malam itu mungkin semesta memberikan saya sebuah kebetulan untuk menjawab pertanyaan orang lain mengenai kenapa seorang Ilham Bratadiga terlihat selalu tertutup.

Nyatanya tidak, sembari mengaduk kopi buatan Mamah. Ayah menangis malam itu, entah apa yang mereka bicarakan namun yang pasti segukannya menembus dinding kamar saya dengan jelas. Lalu akhirnya saya tidak bisa tidur sampai pagi karena memikirkan apa kiranya yang membuat Ayah menangis.

Jawabannya tidak kunjung saya dapatkan bahkan ketika saya menginjak dewasa. Namun satu hal yang bisa saya pastikan, Ayah hanya bercerita pada orang yang dipercayainya. Dan orang itu adalah Mamah.

ⓝⓝⓝ

Entah sudah berapa kali saya hampir menginap di kampus demi mempersiapkan hal-hal mengenai perlombaan West Java Words Day dan malam ini saya kembali bermalam di Bhimaraja. Menginjak pukul sebelas malam saya memutuskan untuk pergi keluar untuk mencari makan, di perjalanan ada beberapa ruangan yang lampunya masih menyala, tanda kalau masih ada beberapa mahasiswa yang sedang sibuk kejar target demi nilai di akhir semester.

Sepuluh langkah sebelum mencapai gerbang utama, saya dikejutkan dengan ponsel yang tiba-tiba berdering. Dinan yang menelepon.

"Masih di kampus?" tanyanya jauh di sana.

"Iya," jawab saya.

"Tungguin, gue ke sana."

Belum sempat saya membalas ucapannya, telepon dimatikan secara sepihak. Akhirnya saya memberitahu Dinan kalau saya akan menunggu di dekat parkiran motor saja.

Ketika sampai di parkiran saya menemukan sesuatu yang aneh. Namun urung saya pikirkan.

Tak lama kemudian Dinan datang, mobil hitam yang baru dibelinya bulan lalu menyikat habis jatah parkir motor lain sehingga kini hanya mobilnya saja yang menjadi visual utama. Namun fokus saya justru malah tertuju pada pouch berukuran kecil yang biasanya selalu dibawa oleh anak SD sebagai penutup wadah makan siang.

Dinan lalu duduk di samping saya. "Udah makan belum?"

Saya spontan menggeleng. "Belum."

"Kebetulan, habisin nih." Dinan berkata lalu menyerahkan barang bawaannya pada saya.

NOVELTYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang