NOVELTY 10: Self Potrait

281 35 166
                                    

Maaf ya kalau sering terlambat update, kemarin tuh sebenernya udah tinggal publish doang, tapi ngerasa kayak kurang masuk alurnya. Dan akhirnya berusaha mencari ilham selama seminggu, alhamdulillah dapat hehe. Semoga suka ya!

Jangan lupa vote dan komen kalian ya!
💛💙

ⓝⓝⓝ

Arsen

Kalau dipikir lagi, ini sudah hampir satu minggu saya tidak masuk kelas karena mengambil cuti untuk penyembuhan Esa. Kabar baiknya, semua berjalan lancar, Esa kini sudah bisa berjalan walau masih harus dituntun. Lalu kalau mengingat tentang seberapa khawatirnya Dinan saat Esa mulai mencoba untuk berjalan lagi, saya tidak bisa menahan senyum.

Malam itu, Bandung diguyur hujan deras. Iya, akhir-akhir ini Kota Parahyangan memang sedang sering-seringnya ditumpahi hujan. Kabar baiknya, Bandung menjadi lebih sejuk dan tidak panas ataupun gersang. Kabar buruknya, banjir.

Sudah menjadi rahasia umum kalau Bandung adalah salah satu dari banyak kota besar di Indonesia yang sering sekali terkena banjir, walau tidak separah Jakarta, tetap saja itu rutin terjadi. Kejadian itu membuat kami bertiga, mau tidak mau harus berdiam diri di rumah. Walau pada hari itu saya harus datang ke suatu acara di daerah Ledeng dan Dinan yang harus rapat dengan Jaffar di Gadeon cabang Bandung terpaksa mengurungkan niat kami untuk bepergian.

"Gak jadi pergi?" Saya bertanya pada Dinan yang tiba-tiba kembali lagi dari luar.

"Hujan," jawabnya kalem seperti biasanya. "Males."

"Bukannya ada rapat? Emang bisa ditinggalin?" Saya bertanya murni ingi tahu. Namun raut wajah Dinan berkata seolah itu bukan sesuatu yang patut dipertanyakan.

"Kenapa mukanya gitu?" tanya saya lagi.

"Gak."

Dinan akan selalu menjadi Dinan, dia akan selalu menjadi pribadi yang gemar dan pintar menyimpan semuanya sendirian. Walau saya tahu, terkadang baik saya, Dinan atau Esa, kita semua butuh seseorang yang bisa mengerti bagaimana pribadi kami. Sejatinya kami bertiga kehilangan rumah dan saya yakin kalau Dinan pun merasakan hal yang sama.

"Bagaimana pekerjaan kamu?" Saya duduk di depannya dengan membawa dua mangkuk berisi sekoteng. Saya memberikan mangkuk yang satunya lagi pada Dinan.

Tidak menjawab, Dinan malah melihat sekoteng yang saya berikan dengan tatapan lekat. Tatapannya sarat dengan sesuatu yang tidak bisa saya tebak.

"Baik," jawabnya singkat. "Everything running well."

"Really?" tanya saya lagi karena sejujurnya saya tidak yakin dengan jawabannya tadi.

Saya sadar, kalau selama ini hubungan di antara kami bertiga sedang tidak baik-baik saja. Dan ketika saya ingin meminta maaf untuk semuanya-karena lebih membela papah saat itu. Kami sudah jarang bersama, Dinan sibuk dengan pekerjaannya untuk meraih semua yang dia dambakan, begitupun dengan saya yang semakin disibukan dengan berbagai macam urusan.

Kesibukan kami membuat Esa semakin kurang diperhatikan, dan itu membuat suasana semakin keruh. Oleh karena itu, mungkin insiden kecelakaan Esa bisa saya manfaatkan untuk memperbaiki hubungan kami yang sudah lama renggang.

"Mia suka sekoteng," celetuk Dinan dan saya berhenti mengunyah detik itu juga. "Anak itu selalu suka sekoteng dan roti."

Saya hanya diam, karena saya merasa mungkin ini saatnya saya menjadi pendengar untuk adik saya setelah sekian lama.

"Dulu," kata Dinan sembari meletakan sekoteng itu dan membuka jas kerjanya. "Dia paling suka tempat duduk yang di pinggir jalan."

Bisa saya tebak tempat yang dimaksud Dinan adalah Sekoteng Singapore, tempat yang selalu keluarga kami kunjungi saat main ke Sukabumi, dulu saat kami semua masih punya keluarga.

NOVELTYDonde viven las historias. Descúbrelo ahora