20. Pada Akhirnya Kita Memang Harus Berpisah.

4.9K 626 1.5K
                                    


"Jalan terbaik untuk mengenangmu adalah, membiarkan ingatanku tentangmu tidak akan pernah hilang."
Alena (Here With Me)


Di dalam sebuah ruangan Apartement kecil, namun mewah dan elegan, dipenuhi barang-barang dengan harga fantastis, ia duduk di atas karpet beludru yang tebal. Namun bukan itu yang terpenting, tidak ada yang lebih mendominasi kecuali suara tangis ia yang menggema menenuhi seluruh ruangan.

Kepalanya masih di balut handuk, dengan balutan piyama tidur yang melindungi tubuhnya dari udara malam yang dingin, tapi tidak berhasil melindungi tubuhnya dari bahaya dan rasa sakit.

Air matanya tumpah, ia teringat bagaimana ucapan Fiona dan Adiguna siang tadi. Lagi-lagi, kalimat yang paling ia benci kembali harus ia dengar lagi. Telinga itu rasanya sudah mati rasa untuk mendengar hujatan dan makian kedua orang tuanya. Salah apa dirinya? Hingga harus terlibat dalam rasa sakit yang seharusnya tidak ia terima.

Hidupnya dulu yang terlihat baik-baik saja, menjadi anak kesayangan terlebih diperlakukan spesial ketimbang kakaknya, Alina. Ternyata saat ini semua itu dapat berlalu hanya dengan sekejab mata. Semakin mengingat luka masa lalunya, semakin juga ia membenci keluarganya.

"Hiks...hiks.. maaf, Ma.. Maafin Alena.."

Entah apa yang harus ia lakukan kepada Dean yang telah menyelamatkannya dari perbudakan perjodohan itu. Orang tuanya dengan tega menghancurkan masa depannya, kehidupannya, dan membiarkan Alina hidup bahagia ketimbang dirinya. Mengingat bagaimana Alina menghancurkan hati Alena dengan ucapannya itu semakin membuat dada Alena sesak. Tangannya mencengkram bantal sofa kuat-kuat sampai busa itu kempes di dalam kepalannya.

"Kenapa harus gue yang di jodohin, Al? Kenapa nggak lo aja? Lo selama ini udah terlalu keenakan dimanja sama Mama Papa, kan? Tolonglaah, Al biarin gue bahagia, selama ini gue selalu ngalah sama lo. Biarin kali ini aja, gue nyoba untuk nggak ikutin kemauan Papa."

Matanya terus menetes tak berhenti. Wajahnya memerah dengan bahu yang naik turun. Tinggal menghitung jam, mendekati kepergiannya meninggalkan semua kenangan pahit di tempat ini. Menjadi Alena yang berbeda, terlebih Alena yang jauh dari nama Adiguna.

Tubuhnya perlahan lemas, namun bayang-bayang Dean muncul dalam kepalanya. Sosok pria yang selalu mengulurkan tangannya untuk Alena. Bahkan dengan sukarela membantu dirinya. Ia sadar, ia telah masuk ke dalam gelapnya dunia Dean semenjak ia menerima uluran tangan itu. Tapi, ia juga sadar, bahwa dunia itu bukanlah dirinya. Bukan Alena Adiguna.

"Aku bakal bantuin kamu, Len. Termasuk balas dendam karena keluarga kamu udah jahat sama kamu. Mereka nggak sepantasnya maksa anak mereka buat nikah, terlebih untuk kepentingan bisnis mereka yang haram."

Hanya Dean yang saat itu mengulurkan tangan untuknya, jadi Alen pikir, hanya itu satu-satunya cara untuk kembali bangkit, dan tidak menyerah pada takdir yang ditentukan kedua orang tuanya.

Bayangan masa kecil yang kelam terbesit begitu saja ditengah tangisnya sendiri. Ia teringat sakitnya tamparan tangan saat ia masih berusia lima tahun, bahkan, luka memar bukanlah masalah besar kala itu. Tubuhnya sudah biasa menerima rasa sakit. Bekas luka pecahan kaca itu masih terlihat jelas di lengannya. Tidak ada yang bisa menghapus bekas itu, terlebih kenangan, dan rasa sakit hati yang selama ini ia rasakan.

"Kakakk... Kakakk tolonggg.." Alen kecil menangis sambil berusaha membuka pintu kamarnya yang terkunci. Pria itu berjalan ke arah anak kecil yang menggendong boneka di tangannya sambil membawa bingkai foto yang sudah pecah. Dengan rahang mengeras, tak pandang bulu, ia terus memukul anaknya yang masih berusia lima tahu tanpa ampun.

Alen memeluk bahunya sendiri sambil menenggelamkan wajahnya di sela lututnya sendiri. Luka itu, sangat sakit hingga menimbulkan dendam dalam hatinya. Keluarganya mati-matian menutupi kekerasan Adiguna. Tapi, mungkin sekarang tidak dengan Alena.

ALENA (Here With Me) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang