3. Kisah lama Alena

10K 1K 106
                                    

Gadis itu menggeliatkan tubuhnya, berguling ke kanan dan ke kiri. Punggungnya terasa sakit bahkan leher kepalanya juga. Perlahan matanya mengerjab kemudian terbuka lebar. Terdiam beberapa saat sambil mengamati indahnya langit-langit kamar yang polos berwarna putih. Tidak ada yang menarik, tapi di sanalah Alena biasa berhalusinasi dan berkhayal. Alena menguap, tangan kanannya terulur untuk menutup mulutnya yang terbuka lebar.

Matanya melirik sekilas ke arah jam yang bertengger manis di dinding. Pukul lima, cukup lama ia tertidur. Gadis itu bangkit dari posisinya untuk duduk. Ia bahkan lupa, masih mengenakan pakaian ke kampus tadi. Buku-buku juga masih berserakan di lantai.

Menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sepertinya sepulang kuliah tadi mood nya sedang hancur. Entah karena apa, atau mungkin Rafa? Ngomong-ngomong soal Rafa, Alena ingin memeriksa keadaan apartemennya kali ini. Atau Rafa sudah pulang?

Dengan cepat Alena pergi untuk membersihkan dirinya, lima belas menit berlalu. Dengan baju piyama warna biru langit kesukaannya Alena mencempol rambutnya ke atas. Gadis itu kembali memeriksa penampilannya di cermin. Kedua telapak tangannya menempel pada dua sisi wajahnya.

Berjalan ke arah dapur untuk membuat sesuatu saat perutnya terasa lapar. Keadaan apartemen masih sepi seperti biasanya. Rafa belum pulang. Pria itu selalu seperti ini. Pulang larut malam saat Alena sudah tidur, dan pergi pagi-pagi sekali saat Alena belum bangun. Atau, saat Alena berangkat ke kampus pagi hari, Rafa akan pergi siang hari. Kehidupannya sangat sepi.

Alena mulai mengambil mie instant. Kemudian menyiapkan air sampai mendidih dan memasukkan Mie nya, kemudian satu butir telur di atasnya.

Keluarga Rafa memang sangat baik dengan keluarganya. Bahkan sering membantu keluarga Alena. Terkadang, Mama Rafa juga mengirimkan kue buatannya untuk Fiona, Mama Alena dan Alina.

Gadis itu masih ingat dengan jelas, saat keluarganya penuh masalah dan konflik. Karena, dengan tiba-tiba Adiguna, Ayahnya mengumumkan berita perjodohan salah satu anaknya dengan anak sahabatnya. Dan karena itulah, timbul sebuah perdebatan yang hebat antara dirinya dan Alina. Adiguna sendiri tidak pernah menyebutkan, putrinya yang mana yang harus menikahi Rafa. Ia membebaskan dua anaknya untuk berinisiatif menyelamatkan nama keluarga mereka dari hutang budi.

Saat itu juga, Alina kakaknya secara terang-terangan mengatakan bahwa ia membencinya. Semua sangat menyakkitkan bila di ingat. Terlebih Alena yakin, ucapan kala itu adalah ucapan yang sudah lama Alina pendam untuk dirinya.

"Alen! Kamu sadar nggak sih? Papa sama Mama selalu banggain kamu meskipun kamu nggak punya bakat sama sekali. Mereka selalu nurutin semua mau kamu! Mereka selalu sayang sama kamu! Bahkan, Mama hampir meninggal pas ngelahirin kamu tapi mereka masih sayang sama kamu! Andai kamu nggak lahir di dunia ini, perjodohan kaya gini nggak akan terjadi! Kamu cuma anak pembawa sial! Aku benci sama kamu Alena!!" Kata-kata Lina jelas membuat Alena langsung menetaskan air mata.

"Kenapa harus aku yang nikah hah? Kenapa nggak kamu yang sesekali ngerasain gimana nggak enaknya hidup? Bukannya selama ini kamu selalu di enakin sama Papa? Tolong Len, tolongg, sekali ini aja gantian lo yang ngalah sama gue. Kali ini aja, kakak mohon. Jangan ganggu hidup kakak, biar kakak bisa hidup sesuka kakak. Kakak nggak mau di jodohin!"

Alasan itu yang membuat Alena harus menikah dengan Rafa. Seharusnya Lina, karena ia adalah anak pertama dari keluarga Adiguna, tapi Lina tidak mau. Lena lah yang harus menggantikan posisi itu. Mungkin memang benar, kalau saja Alena tidak hadir di dunia ini. Semua kesalahan tidak akan pernah terjadi. Mamanya tidak akan melahirkannya sampai hampir pergi.  Dan pernikahan paksa ini tidak mungkin terjadi.

Alena hanya bisa menyesali ini semua. Sudah terlanjur, semua tidak akan mungkin bisa di ulang. Alena juga tidak bisa menentang takdir Tuhan. Tangannya bergerak untuk memegang bahunya sendiri, seolah sesuatu di bahunya mengingatkan dirinya pada sebuah kejadian buruk. Matanya berkaca-kaca sambil menerawang jauh. Hanya ada kegelapan untuk masa depannya, mungkin.

Tiba-tiba gadis itu berlonjak kaget saat percikan air panas mengenai tangannya. Alena panik, mie masakannya membludak karena api yang terlalu besar. Dengan cepat gadis itu mematikan kompornya. Membilas tangannya yang panas dan perih ke wastafel. Sambil sesekali meniupnya, ini semua karena Alena yang melamun. Untung saja dapur tidak terbakar. Gadis itu meringis kesakitan, matanya melirik ke arah mie yang sudah tidak menggairahkan. Tiba-tiba rasa laparnya hilang. Alena membalikkan tubuhnya, hendak pergi kembali ke dalam kamar. Ia kehilangan selera makan dan juga merasa perih di tangan.

Setelah memasuki kamarnya, Alena menutup pintu kamarnya kembali. Mencari kotak P3K di dekat meja riasnya, kemudian mulai mengobati lukanya dengan salep. Alena menghela napasnya, lidahnya berdecak kesal.

"Ish, kalau sakit begini nggak bisa ngeluh ke siapa-siapa. Nggak bisa manja sama siapa-siapa lagi. Udah kayak hidup sendiri. Bener-bener sendiri. Apa-apa sendiri. Serba sendiri!!! Kalau semisal aku mati di kamar pun kayaknya nggak bakal ada yang tau! Atau aku satu-satunya orang di bumi yang tinggal hidup pasti udah biasa banget rasanya sendiri,"

Rasanya kesal mengingat semuanya. Bahkan mie instan dengan telor mata sapi adalah makanannya sehari-hari. Selain tidak pandai memasak, Alena juga harus berhemat untuk makan apa adanya. Terlebih, sepertinya sekarang pun, nasi hangat dengan telor ceplok pun sudah sangat lezat.

"SENDIRI AJA TERUUUS KEMANA MANA SENDIRI! DI RUMAH SENDIRI! MAKAN SENDIRIIII!!!"

Seorang pria baru saja tiba. Ia meletakkan sepatu sneakers warna putih ke dalam rak sepatu. Sambil menggendong tasnya dengan sebelah lengan. Jaket Hoodie dengan lengan panjang ia geser sampai siku. Wajahnya terlihat lelah, kantung matanya semakin menghitam. Tubuhnya mungkin butuh istirahat.

Rafa berjalan ke arah kamarnya. Memastikan keadaan Apartemen sudah sepi. Tapi, ada sesuatu yang aneh tidak seperti biasanya. Lampu dapur masih menyala, pria itu berjalan ke arah dapur. Melihat panci mie instant yang masih hangat. Tapi, panci itu gosong. Melihat itu Rafa sedikit membulatkan matanya. Pria itu memijit keningnya yang berdenyut. Kemudian kembali berbalik menuju kamarnya.

Telinganya tidak sengaja mendengar suara bising dari sebrang kamar. Tepatnya kamar milik Alen. Gadis itu. Kakinya hendak melangkah maju, namun tiba-tiba terurungkan. Sesuatu seperti menahannya untuk mundur dan kembali.

Ini bukan tempatnya, tempatnya adalah di dalam kamar itu. Ini bukan urusannya, urusannya adalah masuk dan segera mandi. Rafa menggelengkan kepalanya, dia tidak mungkin dan tidak akan mengganggu Alen.

Tangannya mendorong gagang pintu kamar. Namun sesuatu terdengar di telinganya membuatnya menghentikan aktivitasnya.

"SENDIRI AJA TERUUUS KEMANA MANA SENDIRI! DI RUMAH SENDIRI! MAKAN SENDIRIIII!!!"

Pria itu menghela napasnya, memejamkan matanya. Menoleh ke arah pintu kamar Alen. Tak berapa lama pria itu kembali terdiam. Seolah tengah berpikir sesuatu. Dengan tangan kiri yang mengepal Rafa membuka pintu kamarnya segera dengan tangan kanan. Kemudian bergegas masuk ke dalam kamarnya sendiri. Mengunci pintu rapat-rapat dan berusaha tidak memikirkan sesuatu yang baru saja ia dengar.



------

Yeeaay baru 2 part udah 1k dibaca. Makasih banyaakkk guyss❤️

Hope u like it❤️❤️

ALENA (Here With Me) Where stories live. Discover now