10. Ada apa dengan Gara?

6.4K 720 241
                                    

    Hallo semua selamat Malam?

Waaahhh sebentar lagi bakal seru nih, teka teki mulai kebuka satu persatu😋

Jangan lupa Vote dan Komen ya biar semangat Up setia hari🎉✨

Kalau cerita ini tembus Like dan komen banyak, aku bakal double Up😋❤️🌞

Selamat membaca❤️❤️❤️❤️

Alen masuk ke dalam Apartemennya. Setelah kembali menutup pintu, tiba-tiba ponselnya berdering. Membuat Alen dengan segera mengambil benda pipih itu, dan membaca nama seseorang yang menelponnya.

Matanya membulat dengan kening berkerut. Alen tidak percaya ketika Luna menghubunginya padahal mereka baru saja bertemu. Dengan segera, Alen mengangkat panggilan dari sahabatnya itu.

"Kenapa, Lun?"

"..."

"HAH? APA? KOK BISA?!!!"

"..."

"IYA IYA! AKU SEGERA KE SANA!!"

Alen kembali memasukan ponselnya kedalam saku celana. Kemudian berbalik untuk membuka pintu Apartemen dan bergegas pergi dari sana.

Gadis itu berlari menuju jalan raya, kemudian mencari sebuah taxi yang mungkin saja lewat di keadaan darurat seperti ini. Keringan bercucuran di keningnya, tubuhnya sudah basah. Jantungnya berdetak cepat, memberikan efek pusing di kepalanya.

Alen masuk kedalam Taksi, kemudian menyebutkan alamat tujuan yang akan ia kunjungi. Gadis itu tidak dapat duduk dengan tenang, bahkan punggungnya tidak bisa bersandar rileks. Tangannya saling memilin satu sama lain. Merasa cemas dengan kabar buruk yang baru saja ia dengan dari Luna.

Setelah menempuh kurang lebih sepuluh menit, Alen sampai di sebuah gedung Rumah Sakit. Gadis itu langsung berlari menuju ruang Gawat Darurat.

Polisi berdiri di sana, dan beberapa Dokter tengah mengobrol di depan ruangan UGD.

Dengan cepat gadis itu berlari, menemui Luna yang berdiri dengan kaki gemetar. Gadis itu sama berkeringatnya dengan Alen saat ini. Bahkan, Luna menitikan air mata.

"Gimana kata Dokter? Gimana keadaan Gara?" Tanya Alen dengan raut wajah cemas.

"Dia masih nggak sadar. Belum ada informasi apa-apa, Len. Mobilnya.. mobil dia remuk bagian depan..."

"Astaga? Demi apa? Semoga dia nggak papa!!" Ucapnya terjeda,

"Udah telfon Mama sama Papanya?"

Luna menganggukan kepalanya. Sambil menggigit ibu jarinya sendiri. Merasa cemas dengan keadaan sahabat mereka.

"Polisi udah di TKP? Kok bisa sih, Lun?"

"Jadi gini.."

"Abis anterin lo, dia anterin gue. Tapi, gue ada sesuatu yang harus gue beli di minimarket depan, dia turunin gue disitu. Nggak lama dari itu, belom juga jauh dari tempat gue, Gara ngehindarin geng motor yang balapan liar. Dia bahkan hampir nabrak bapak-bapak yang ngedorong gerobak. Terus dengan reflek dia banting setir ke arah trotoar jalan. Gue liat semuanya, Len. Gue liat wajah dia yang penuh darah, dia langsung pingsan.." jelas Luna membuat Alen memeluk sahabatnya itu.

"Tenang Lun. Gara kuat, dia nggak papa.."

"Salah gue, Len. Dia...andai dia nggak nganterin gue. Dia nggak bakal ketemu sama anak geng motor yang balapan itu. Gara-gara gue.. dia jadi kecelakaan.."

"Enggak, Lo nggak salah... Jangan nyalahin diri lo sendiri.."

"Gue lemes, gemeter rasanya. Gue takut.. gue takut kehilangan Gara.. gue nggak mau kehilangan dia.."

Mendengar hal itu membuat gerakan tangan Alen berhenti untuk mengusap punggung Luna. Ternyata, selama ini, dugaannya benar. Luna menaruh perasaan pada Gara. Dan tanpa pria itu sadari, perasaan Luna lebih dari sekedar sahabat.

"Kita berdoa aja buat Gara. Dia nggak akan kenapa-kenapa.."

Luna menganggukan kepalanya. Dengan air mata yang terus saja keluar. Hatinya sakit, pria yang ia cintai sedang berjuang hidup dan mati di dalam sana. Rasanya ingin menyalahkan diri sendiri, tapi semua sudah terlambat. Penyesalan tidak akan menyelesaikan apapun.

"Kalian berdua.. temannya Gara kan?"

Pelukan mereka terlepas. Mata mereka melihat ke arah pria yang berdiri di sana. Pria paruh baya dengan wajah penuh kerutan, mata dan bibirnya sama seperti Gara.

"Om.."

"Terima kasih sudah datang. Sudah membawa Gara ke rumah sakit.."

Luna semakin menangis. Sangat merasa bersalah, apalagi setelah bertemu Papa Gara.

"Om.. saya minta maaf.."

"Tidak papa. Memang sudah jalannya seperti ini. Biar lain kali, Gara lebih berhati-hati.."

"Saya benar-benar minta maaf.."

"Itu pilihan terbaik, Om bangga sama Gara.."

"Dia mengorbankan dirinya sendiri demi nolongin orang lain.." lanjut Alena.

"Yahh. Lebih baik seperti ini, dia kuat. Om percaya itu, ah ya.. dia di dalam bersama Mamanya. Kalian bisa pulang, biar kami yang rawat. Istirahat di rumah, besuk berkunjung lagi dengan keadaan kalian yang lebih baik. Sekarang, tenangkan dulu perasaan kalian. Gara tidak papa. Dia baik-baik saja.."

Alen tersenyum sambil menganggukan kepalanya. Papa Gara sangat baik, bahkan berwibawa.

"Om pergi dulu ya.." pamitnya untuk menuju ke gerombolan polisi.

Alen memeluk Luna dengan sebelah lengannya. Menepuk pundak gadis itu berusaha memberikan ketenangan. Rambut Luna sampai lepek karena air mata, bahkan riasan di wajahnya luntur. Luna benar-benar kacau malam ini. Alen jadi ikut merasakan bagaimana perasaan Luna.

"Lun, kita balik yuk! Gue anter lo pulang. Kita cari taksi yuk. Jangan takut.."

"Gue suruh kakak gue jemput aja, Len. Lo juga pulang ya.. besuk kita ketemu lagi di sini. Makasih udah dateng.."

"Nggak gitu, udah sewajarnya kita di sini. Kita sahabat Gara. Lo juga, istirahat ya! Jangan terlalu kepikiran, percaya, besok kita kesini, Gara udah sadar dan baik-baik aja.."

Luna menganggukan kepalanya. Kemudian, gadis itu pergi berjalan sambil menghubungi seseorang.

Alen masih berdiri di tempatnya, melihat kepergian Luna yang semakin menjauh. Gadis itu membuang napas beratnya, tangannya bergerak memijat pelipisnya yang berdenyut.

Gara membuatnya khawatir, terlebih Luna yang melihat kecelakaan itu. Pastilah kondisi mentalnya buruk saat ini. Tapi, Luna butuh waktu untuk sendiri. Untuk menenangkan hati dan perasaannya.

Alen melirik sekilas ke arah jam tangan yang bertengger manis. Sudah sangat larut malam, ia harus segera pulang sebelum Rafa mendahuluinya.

Gadis itu berbalik, matanya membulat. Merasa terkejut dengan seorang pria yang berdiri di hadapannya. Pria itu juga terkejut, melihat kehadiran Alen di Rumah Sakit semalam ini.

Tubuhnya menegang seketika. Reaksi yang sangat berlebihan ketika bertemu Rafa. Jantungnya berdetak kencang dengan telapak kaki dan tangan yang dingin.

Lidahnya kelu, tidak mampu mengucapkan apapun lagi. Melihat Rafa seperti ini saja memberikan reaksi berlebihan. Bagaimana kalau kulit mereka saling bersentuhan?

Kenapa pria itu ada di sini? Alen kembali mengontrol ekspresi wajahnya. Berusaha bersikap tenang dan biasa saja. Rasa ingin tahunya saat ini cukup tinggi. Kalau mungkin Rafa mengajaknya bicara, sudah pasti Alen akan jungkir balik, kayang, roll depan, sampai lari lima belas putaran.




E tapi boong

Beberapa menit, tatapan mata mereka tetap bertemu. Tidak ada  yang tau apa yang mereka berdua pikirkan. Hanya perasaan keingin tahuan, tapi ego berkata tidak. Tidak peduli bagaimana nanti, Alen hanya bersikap seperti biasanya. Tidak seharusnya ia merasakan perasaan seperti ini. Sejak kapan? Bahkan mulai saat itu, ia sudah terbiasa sendiri.

ALENA (Here With Me) Where stories live. Discover now