9. Persahabat atau cinta segitiga?

6.6K 668 25
                                    

Sore hari pun tiba, hari berganti begitu cepat, waktu terus berputar, mentari mulai tenggelam, kehidupan terus berjalan. Setiap hari adalah waktu yang cukup sulit untuknya. Kehidupan tak semudah membalikan telapak tangan. Segala konsekuensi dan masalah harus di hadapi. Hidup memiliki porsinya masing-masing. Setengah bahagia, setengah lagi penderitaan. Apa Alena percaya dengan istilah itu? Mungkin saja, setiap penderitaan yang ia hadapi sekarang akan berujung bahagia. Sehingga dirinya dapat merasakan masa masa itu, menghabiskan waktu itu dengan cukup ketenangan.

Gadis itu melangkahkan kakinya memasuki Cafe tempatnya bekerja. Gilirannya shift malam hari ini. Lina tidak hadir karena gadis itu sudah bekerja pagi tadi. Alen masuk, namun seseorang memanggilnya. Membuatnya harus menghampiri pria yang duduk di meja depan.

"Iya, Pak?" Tanyanya, Alen merasa sedikit aneh karena bosnya memanggil sore ini. Apa dia melakukan kesalahan? Bahkan shift nya belum dimulai.

"Duduklah.." perintahnya membuat Alen akhirnya duduk.

"Saya melihat betapa gigihnya selama ini kamu bekerja.." ucapnya terjeda,

"Tapi, maaf sekali kamu harus berhenti."

Mendengar itu membuat Alen membulatkan matanya terkejut.

"Saya mengerti kamu kaget. Tapi, saya telah memutuskan. Saya tidak akan menerima pegawai Mahasiswa. Karena itu akan menggangu proses belajar kamu. Maaf sekali.."

"Tapi, Pak. Saya butuh pekerjaan ini. Kan Bapak awalnya udah tau saya Mahasiswa, tapi tetep mempekerjakan saya. Lagi pula pekerjaan ini tidak mengganggu belajar saya.."

"Maafkan saya, ini sudah menjadi keputusan saya.."

"Tapi, kenapa, Pak? Bahkan saya belum bekerja semalam satu bulan? Apa saya membuat kesalahan?" Tanya Alen yang dijawab dengan gelengan kepala.

"Tidak, justru saya bereterima kasih sekali atas kerja kerasmu. Maaf sekali Alen. Saya akan transfer gaji sebulan kamu. Sekaligus pesangon,"

"Tidak, Pak. Terima kasih. Saya belum bekerja sebulan. Saya tidak berhak mendapatkan itu,"

"Tapi, kamu harus menerima itu apapun alasannya.."

"Maksud Bapak"?

"Saya bertanggungjawab atas itu.."

"Baiklah, maaf pak. Kalau selama bekerja saya membuat kesalahan.."

"Saya juga, terima kasih banyak. Semoga kamu selalu sehat.."

Alen menjabat tangan Bosnya, kemudian berlalu dari sana. Rasanya sangat menyebalkan sekaligus kecewa. Dalam hati kecilnya tidak terima. Bahkan, sepertinya Alen baru memulai semuanya. Tapi, sudah diberhentikan saja.

"Hallo, Lun. Lagi di mana?"

"..."

"Iya, Lun. Boleh aku ke sana?"

"..."

"Aku bisa naik Bus kok Lun,"

"..."

"Yah, tunggu aku ya!!"

"..."

" Okey, daahh.."
Setelah mematikan sembungan telepon antara dirinya dan Luna, tiba-tiba sebuah notifikasi muncul beriringan dengan notifikasi sebuah pesan teks yang masuk.

Seseorang baru saja mengiriminya uang dengan jumlah yang tidak sedikit. Alen tersenyum, kemudian dengan cepat membaca pesan teks yang baru saja ia terima.

"Sudah cukup."

Kepalanya mendongak ke langit, matanya menyipit, kemudian ia tersenyum. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri seolah sedang mencari seseorang yang mungkin saja mengawasinya saat ini. Senyum di wajahnya perlahan berubah semakin lebar saat matanya menemukan sesuatu dibalik gedung di sebrang sana. Dengan cepat, Alen menetralkan ekpresi wajahnya yang ketara sebelum disadari orang disekitarnya.

Alen memasukan kembali ponselnya kembali ke dalam tas. Gadis itu berjalan menuju halte terdekat untuk naik bus. Suasana hatinya cukup buruk saat ini. Entah apa alasan sesungguhnya, tapi ia merasa Bosnya tidak benar-benar melakukan itu karena ia masih seorang Mahasiswa.

Beberapa menit berlalu, Alen sudah tiba di halte Bus. Tempat dimana ia menunggu Luna dan Gara di sana.

Gara datang, dengan mobilnya. Alen tersenyum kemudian masuk kedalam mobil Gara, sedangkan Luna menatap khawatir. ekspresi wajah sahabatnya jelas sedang tidak baik-baik saja.

"Lo kenapa?" Tanya Gara melirik dari kaca spion tengah.

"Alen, tumben lo ngajak kita keluar duluan?"

"Cuma pengen ngopi sama kalian aja.."

Luna menganggukan kepalanya. Kembali menghadap kedepan. Gadis itu duduk disebelah Gara dan membiarkan Alen duduk di kursi belakang.

"Kita mau kemana nih? Beneran cuma mau ke Cafe? Kenapa kita nggak ke Mall aja?"

"Boleh juga," jawab Luna antusias.

"Menurut kamu gimana, Len? Kita bisa cari diskon nih. Udah lama kan kita nggak belanja?"

Alen menganggukan kepalanya. Menyetujui permintaan kedua sahabatnya tampaknya tidak terlalu buruk.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, akhirnya mereka tiba di salah satu pusat perbelanjaan.

Luna turun dari mobil Gara dengan antusias menggandeng tangan Alen. Gara, yang merasa seorang diri mendengus kesal, bagaikan seorang pengawal dua putri kerajaan, ia harus berjalan di belakang.

Mereka bertiga mulai memasuki Mal. Luna menggandeng tangan Alen untuk memasuki beberapa toko baju. Mereka sibuk memilih baju sambil sesekali tertawa, tertawa karena Gara mulai kesal menunggu mereka. Atau, tertawa karena berhasil menggoda Gara dengan pakaian perempuan di tubuhnya.

"Ra, lo kelihatan cantik kalau pakai ini.. beli gih,"

"Biar gue cantik gue nggak bakal beli, Lun. Bisa jadi abis ini gue di usir dari rumah.."

Alen tertawa keras, membayangkan Gara mengenakan pakaian pilihan Luna. Dua sahabatnya sangat lucu bahkan terkadang bertingkah konyol. Dan sekarang, tanpa malu, Gara menggoda penjaga toko itu beberapa kali.

"Udah ah. Jalan lagi yuk! Capek ketawa nih,"

"Kalian nggak beli?" Tanya Gara prustasi setelah menunggu sekian lama.

Alen dan Luna kompak menggelengkan kepala mereka. Melihat raut kekesalan Gara membuat mereka berdua semakin tertawa.

"Kenapa nggak beli? Hampir satu jam kita diem di toko ini, masa satu potong baju pun nggak ada yang menarik?"

Alen menggelengkan kepalanya. Luna pun semakin terkekeh.

"Nggak ada yang cantik modelnya. Biasa aja semua. Eheheh yuk, pindah toko tuk!"

"Kalau nggak suka modelnya kenapa muter muter satu jam?"

"Namanya juga perempuan, kita butuh yang pas. Nggak setengah-setengah, kalau jelek dan nggak srek di hati kenapa harus di beli? Kan lebih hemat.."

Gara memutar bola matanya malas. Kembali mengekor di belakang Luna dan Alena. Dua gadis itu tidak cukup berhenti di sana, seperti tidak pernah merasa lelah. Keduanya terus saja berjalan, mencoba baju, melihat pernak-pernik, namun akhirnya tidak membeli.

"Kalian ke sini mau Belanja atau mau lihat- lihat aja?"

"Ngeluh mulu deh, Gar dari tadi. Kalau nggak mau kenapa nawarin buat pergi?"

"Heh, Alen dari tadi yang ngajakin kita berdua keluar kan lo! Btw, karena lo yang ngajakin keluar, jadi lo yang harus traktir kita makan. Oke?"

"Kok gue?"

"Ayolah, ayam aja deh ayam. Yang murah.."

Luna tersenyum setuju, sedangkan Alen dengan ekspresi kesal di raut wajahnya. Bergantian mengekori Luna dan Gara yang sudah pergi masuk ke dalam Restoran cepat saji.

"Kalian pilih deh, sepuasnya. Kan Alen yang bayar.."

"Aish, Gara!!"

Merek bertiga akhirnya makan. Menikmati menu pilihan yang sudah di hidangkan. Di iringi tawa ketika Gara mengucapkan hal-hal konyol. Mereka terus bersama, sampai melupakan waktu yang sudah berganti malam.

ALENA (Here With Me) Where stories live. Discover now