-SP 1. Perasaan Adena-

24.5K 505 67
                                    

"Ayo kita buat janji!"

"Hn?"

"Ketika sudah besar nanti, kita akan menikah dan memiliki banyak anak! Bagaimana? Keren kan!"

"A-ah...."

"Tautkan jari kelingking! Janji! Janji!"

....

"Dena."

....

"Dena?"

....

"Adena Kirana."

"Y-ya!"

Jawabku terkaget-kaget. Dan saat aku melakukannya, barulah aku tersadar bahwa hampir seluruh orang di kelas menatapku heran. Terutama sang guru pengajar di depan.

Ah ... seruan dari Bapak Guru tadi terpaksa membuat lamunanku buyar. Tetapi, kenapa aku tiba-tiba teringat akan kejadian kala itu ya? Bahkan sampai melamunkannya. Padahal kan itu hanya kenangan bodoh yang memalukan di masa kecil.

Ya. Janji aneh para bocah. Aku bahkan tidak mengingat dengan siapa aku melakukannya, baik wajah maupun namanya. Wajar sih, karena sewaktu itu aku masih berumur enam tahun.

"Dena. Cepat bacakan," suruh Pak Guru dengan nada agak serak. Sontak hal itu membuatku panik.

"E-eh? B-baca ... baca?"

"Halaman tujuh puluh lima."

Salah seorang cewek di sebelahku berbisik. Segera aku membuka buku bahasa indonesiaku, mencari bacaan dari halaman yang dimaksud. Setelah ketemu, aku segera membacanya dengan lantang, meski sempat tersendat-sendat di awal paragraf. Dan suasana kelas pun kembali seperti sedia kala.

Tak lama kemudian, bunyi bel pertanda istirahat terdengar, bagaikan lantunan simfoni yang indah bagi para murid. Menyebabkan mereka terhipnotis untuk segera berbuat keributan. Ditambah juga sang guru yang bergegas keluar kelas diiringi salam perpisahan hangat dari yang diajar.

Suasana yang seperti biasanya....

Aku berdiri. Lalu menghampiri sahabatku, Erina, yang masih berkutat pada ponselnya.

"Yahalo, Erina. Ayo ke kantin."

"Hn."

Seperti biasa, dia membalas dengan singkat.

Kami pun berjalan bersama, ke luar kelas dan melewati koridor sekolah. Aku melirik ke area lapangan. Yang mencolok di sana adalah beberapa siswa yang sedang bermain basket.

Waah.... Anak basket keren juga ya....

Aku menghentikan perpindahan guna sekedar menyaksikan beberapa atraksi dari para pemain. Sontak Erina juga melakukan hal serupa.

"Dena suka banget ya kalau lagi lihat orang main basket."

"Y-ya ... gitu deh. Habisnya mereka ... k-keren."

"Hoo. Padahal cuma mantul-mantulin, trus masukin bola aja kan."

Spontan, aku tertawa lirih. Respon tadi, benar-benar Erina banget. Sejak kami mulai bersahabat di masa SD, sampai sekarang, sifat Erina yang merupakan seorang cewek blasteran Jepang-Indonesia itu masih tidak berubah sama sekali. Ya ... yang berubah paling cuma ukuran tubuhnya yang menjadi lebih langsing dan ukuran ... itu....

Tch. Kenapa aku jadi memikirkan hal semacam itu? Kebanggaan seorang wanita tidak cuma dilihat dari besar kecilnya itu saja kan!

Mataku masih fokus ke arah lapangan. Kemudian, aku melihatnya ikut bermain.

Ikeh Ikeh KimochiWhere stories live. Discover now