-SP 3. Perasaan Erina-

5.6K 210 32
                                    


Warna-warni bunga-bunga tersebar di sekelilingku, membentuk pola yang begitu unik dan sedap dipandang dari kejauhan. Spontan aku mengelus lenganku lantaran cuaca dingin yang menguasai sekitar. Meski sempat menggigil, keindahan taman ini dan segarnya udara pagi tetap bisa aku nikmati. Dan suasana yang sepi menambah rasa keleluasaan tersendiri.

Ingin sekali rasanya berlarian dari ujung ke ujung, berputar-putar, dan merebah diri di rerumputan. Tapi untuk sekarang, mari kesampingkan khayalan tersebut.

Yah, menikmati pemandangan di sini sebenarnya hanyalah bonus. Tujuanku kemari pagi-pagi tidak lain untuk membicarakan sesuatu dengan dia yang sudah menunggu dengan bersandar pada pohon di dekat bangku panjang.

Sembari memasukkan kedua tanganku ke kantong jaket biru muda, aku menyusuri jalan tak berumput dan berhenti tepat di hadapan dia. Alih-alih duduk, aku memilih untuk berbalik, menyaksikan hamparan bunga yang berpola dikara.

"Selamat, Erina. Kau layak untuk mendapatkan piala oscar."

Tanpa menatap lawan bicara, aku menyahut, "Kau juga sama, Tian."

Ujung bibirnya terangkat tipis. Dia kemudian mengalihkan topik. "Yah, aku memang sudah menduga kalau rencana kita akan sukses besar. Tapi ketika sebentar lagi menang, kau malah sempat menyerah."

"Maaf. Waktu itu aku tidak tahan melihat Kak Bintang yang sebegitu menyedihkannya."

"Dasar cewek. Untung saja dia menolakmu kala itu."

Demi menghilangkan delusi seorang Bintang Prasetyo, kami membuat rencana untuk membangunkannya dari kepalsuan itu. Jika apa yang Kak Bintang alami selalu sesuai dengan ekspektasinya, itu malah akan semakin membuatnya buta akan kenyataan.

Semuanya mencintai dirinya yang tampan, kaya raya, dan berbakat. Jika salah satunya saja hilang, ia akan dibenci oleh semuanya.

Sudut pandang yang berdasar dari hal negatif itu bisa menghalangi sudut pandangnya. Mesti ada yang berani untuk menghancurkan harga diri dan kesemuan yang selama ini ia miliki. Dan itulah rencana yang kami lakukan dalam tiga bulan terakhir.

Dua hari telah berlalu semenjak video itu tersebar ke seluruh murid di sekolah kami. Sebetulnya tidak sepenuhnya tepat jika dikatakan bahwa video tersebut akan menghancurkan masa mudanya. Dengan orang-orang yang mengetahui tentang hal itu, Kak Bintang bisa lebih bersikap terbuka tanpa sandiwara. Selain itu, mereka yang mengaku-ngaku sebagai teman akan terseleksi menjadi mereka yang benar-benar bisa disebut sebagai teman.

"Di dunia ini, tidak ada yang namanya cewek tidak peka. Untuk menipu target, kau harus terlebih dahulu menipu sahabat baikmu, kan? Bakatmu untuk menyembunyikan perasaanmu agar tidak tampak itu sangat luar biasa. Aku beneran kagum loh. Padahal selama tiga bulan, kau berhadapan dengan pujaan hati."

Pujaan hati, ya. Memang benar, aku menyukai Bintang Prasetyo sejak kami bersekolah di SD yang sama di Semarang. Waktu itu, Bintang adalah sosok yang pendiam. Tingkahnya begitu lugu dan kebaikanhati yang ia berikan begitu tulus. Yah, dia memang tidak terlalu mencolok. Tetapi hal yang membuatku terkesan adalah dia yang sempat menolongku dan memberikanku semangat untuk menjalani hari-hari. Meski setelahnya aku tidak memiliki keberanian untuk berbicara dengannya lagi. Hingga pada akhirnya ia pindah ke luar kota.

Enam tahun kemudian, aku pindah ke Bandung dan bertemu dengan Adena. Setelah masuk ke jenjang SMA, aku bertemu kembali dengan Kak Bintang. Tentunya ia tidak mengenaliku meski beberapa kali kami berpapasan. Meski begitu, aku senang bahwa perasaanku masih belum berubah.

Bintang yang sekarang adalah cowok populer di sekolah. Bintang yang sekarang adalah cowok yang menjadi dambaan hati mayoritas cewek di sekolah. Aku sangat senang ketika mengetahui hal itu.

Tetapi, entah hanya perasaanku saja atau apa, tatapannya terlihat begitu kosong.

Aku kemudian bertemu dengan Tian yang mengajakku untuk membantu Kak Bintang. Kami pun membuat rencana, berjanji untuk tidak akan mengobrol ataupun terlihat saling mengenal satu sama lain di lingkungan sekolah.

Meskipun aku harus dibenci oleh Kak Bintang, itu tidak masalah. Aku mencintainya. Karena itulah, di sisa hidupku yang semakin menipis, aku ingin membuatnya keluar dari kehampaan itu.

Aku menoleh ke arah Tian, lalu berujar, "Kau juga sama, 'kan. Bertingkah sok jahat seperti itu kepada sahabatmu sendiri."

"Sahabat? Oi ... itu hanyalah di masa lalu. Yah, sebenarnya aku tetap menganggapnya sebagai teman yang berharga. Anggap saja rencana ini sebagai bayaran karena aku tidak datang ke taman kala itu."

Kami saling melemparkan senyuman, hingga suara lain pun menyela.

"Yo! Kalian sudah sampai rupanya!"

Si empunya suara mendekati kami. Ah, jika diingat-ingat, aku belum mengucapkan terima kasih kepada dia. Karena berkat dia, kami bisa terpikirkan untuk membuat rencana itu, juga mengetahui keinginan Kak Bintang yang berada di lubuk hati.

"Kami sudah mau pergi kok, Kak Natasha."

"Oi, Tian. Candaanmu itu tidak lucu."

Baru saja aku mau mulai berujar, Kak Natasha menoleh ke arahku dengan sorot mata yang perlahan layu. Diriku seketika bungkam lantaran teringat akan sesuatu.

"Erina. Bagaimana keadaanmu?"

Aku menunduk. Setulus mungkin, aku menyunggingkan sebuah senyuman.

"Waktuku sepertinya tidak banyak lagi."


Ikeh Ikeh KimochiWhere stories live. Discover now