#07. Surat Cinta

4.5K 255 15
                                    

Pertama kalinya aku mendapatkan surat cinta adalah saat kelas empat SD. Masih terpatri di benak ini tentang keindahan tulisannya. Juga tentang siapa dan bagaimana hal tersebut terjadi. Selepas itu, dia menyatakan cintanya padaku.

Ya, saat itu jugalah aku pertama kali berpacaran. Dan kamvret-nya, hubungan kami tidak sampai tiga bulan. Dia terlebih dahulu merasa bosan dan mulai mencari lelaki lain.

Rangkaian pengalaman kamvret sejenis itu menciptakan semacam prinsip tersendiri, yang masih kokoh menjaga diriku hingga sekarang. Iya, aku akui ketika itu kesempurnaan diriku belum terbentuk. Namun seiring berjalannya waktu, prinsiplah yang membuat kesempurnaan tersebut datang.

Oke, abaikan curhatan tadi. Sekarang ada yang lebih penting lagi. Baru saja Erina mendapatkan surat cinta! Kok bisa-bisanya seonggok cewek somplak mendapatkan surat semacam itu!

Iya sih, aku akui Erina itu cantik. Tetapi ... apa si pengirimnya tidak tau kalau lama-lama dia bisa dibuat stress jika terus berada di dekat Erina?

"Menatapmu dari jauh saja sudah membuatku bahagia. Aku mencintaimu tanpa kata, sebab kau telah mengikat hatiku."

Erina membacakan beberapa patah kata dari surat cinta yang ia terima dan sukses membuat aku mual. Sementara Adena nampak malu-malu kucing, seakan sedang menonton adegan sweet di suatu drama Korea.

Meh, diksinya terlalu pasaran. Sudah jelas si pengirim adalah makhluk yang levelnya berada jauh di bawahku.

Sembari memperlihatkan seluruh isi suratnya kepada aku dan Adena, Erina berujar dengan muka triplek. "Tidak ada nama pengirimnya. Ah, dia menyuruhku untuk datang ke taman belakang sekolah setelah pulang sekolah."

Eh? Tunggu dulu. Ini artinya, Erina akan ... ditembak? Haduh, kok pikiranku mulai tidak karuan. Padahal sudah jelas kan, kalau Erina pasti akan menolak, seperti yang telah dilakukannya padaku. Kalau begini bisa-bisa asistenku akan bertambah.

Tapi ... apa jadinya kalau dia menerimanya? Tidak! Itu tidak mungkin! Cowok setampan dan seluar biasa sepertiku saja ditolak, apalagi cecunguk itu!

"R-Rina bakalan ke sana?" tanya Adena yang sedari tadi nampak lebih bersemangat.

"Hn. Siapa tau dia mau beli jamurku."

Buset! Benar, kan? Masih sempat-sempatnya dia mikirin bisnis. Sudahlah. Hanya ada satu kesimpulan yang didapat dari peristiwa ini. Erina pasti akan menolak. Jadi, tidak perlu cemas. Lagipula, kenapa aku mesti cemas? Ahahahahaha ....

--K.I.M.O.C.H.I--

Oke, ini bukan berarti aku tidak konsisten atau semacamnya. Percayalah! Aku hanya kebetulan lewat di area dekat taman belakang sekolah! Dan kebetulan pula melihat Erina yang dihampiri oleh seorang cowok. Mereka berdua pun saling bersitatap.

Kini aku menyembunyikan hawa keberadaan di balik dinding gedung, di area yang memang jarang dilalui oleh murid lain. Tak jarang mengintip aktifitas dari dua insan di seberang. Sekalian memfokuskan pendengaran agar bisa menangkap konsteks dari perbincangan mereka.

"A-anu! P-perkenalkan ... na-namaku Satria."

Si cowok berujar sembari menampakkan gelagat malu-malu. Tch, aku serasa hendak muntah melihatnya. Sementara Erina masih setia dengan tampang triplek.

Baru saja si cowok yang menyebut dirinya Satria tadi mengucapkan gumaman-gumaman aneh, suara kamvret tiba-tiba terdengar dari belakangku.

"Eh? Bibin? Lagi nga—"

Segera aku membekap orang kamvret tak mengerti situasi itu dan menyembunyikan diri agak menjauh dari lokasi penembakan. Dari cara bicaranya, siapa lagi kalau bukan Johar si kamvret. Setelah merasa cukup aman, aku mempersilakannya untuk bernapas dengan lega.

"Uh- apa-apaan si—"

Aku mendesis seraya menempelkan jari telunjuk di bibirku. "Jangan keras-keras, ntar ketahuan. Eh, kenapa kau bisa lewat sini?"

"Hn? Cuma iseng jalan-jalan. Eh, ketahuan apaan?"

"Erina mau diajak pacaran sama cowok."

"E—"

Kembali aku membekap mulutnya sebelum teriakan kamvret terdengar. Kali ini agak lebih kasar dan kuat, sampai-sampai si Johar memukul-mukulkan tangannya ke dinding yang aku pahami sebagai tanda menyerah (baca: hampir kehabisan napas).

Selama beberapa hari ini, kami berdua sudah lumayan sering berbincang. Jadi aku tau betul kebiasaan kamvret-nya. Mengamati orang-orang yang memiliki kemungkinan untuk dimanfaatkan suatu hari nanti itu penting loh.

Oke, lanjut ke permasalahan utama. Kembali aku melanjutkan misi penguntitan. Diikuti oleh Johar yang sepertinya juga merasakan perasaan kamvret bernama kepo.

Ah, aku harap Satria dan Erina tidak merasa curiga. Hmm, sampai mana sudah?

"Anu ... Erina! Aku sudah lama merhatiin kamu ...."

Oh, ternyata belum ketinggalan jauh. Syukurlah.

"Erina ... aku ...."

Gelagatnya Satria tiba-tiba mengingatkanku pada saat pertama kali aku mencoba mengajak Erina pacaran. Balasan yang didapatkan benar-benar kamvret saat itu. Ya, aku yakin dia juga bakalan digituin.

Pandanganku sejenak beralih, menatap wajah Erina yang terlihat dari samping, membuat berbagai macam spekulasi menghinggapi benakku tentang bagaimana respon yang akan ia berikan. Shit! Kok aku penasaran yah!

"Aku t-tidak tau apakah kamu mengenalku atau tidak. Hanya saja, sudah sejak lama aku menyukaimu ...."

Satria seolah menjeda pernyataannya. Mungkin trik yang ia gunakan kurang lebih sama denganku. Namun sayang sekali, itu tidak akan berhasil.

"Maukah kamu jadi pacar aku?"

Wow, akhirnya kalimat utamanya keluar juga. Terkesan kuat dan blak-blakan. Hmm, bagus, bisa juga kau rupanya.

Anehnya, respon yang Erina berikan tidak sama dari sekian banyak prediksi yang aku buat. Karena dirinya yang sekarang hanya terdiam, sembari menundukkan kepala, seolah sedang memikirkan sesuatu.

Bukan ... ekspresi itu ... baru kali ini aku melihatnya.

Erina membuka mulutnya. Perlu jeda yang cukup lama agar ia mulai bersuara. "Maafkan aku. Aku tidak bisa."

Eh? Jawaban ... macam apa itu? Dia benar-benar Erina, kan? Kenapa pernyataan itu seolah-olah tidak menampakkan dirinya yang biasanya?

Selama ini, aku terus mengamatinya. Mengamati seluruh kebiasaanya. Mengamati perilakunya. Mengamati apa-apa yang keluar dari mulutnya. Dan aku yakin, kalau aku yang sekarang benar-benar sudah hampir memahami dirinya.

Tapi kenapa, melihat cara bicara Erina di seberang sana membuat anak tangga pemahaman yang susah payah aku naiki menjadi bertambah panjang?

"A-ah, iya ya. T-tidak perlu buru-buru. Silakan pikirkan dulu. A-aku siap menerima jawabanmu kapan saja," kata Satria sesambil tertawa miris. Dia menggaruk-garuk belakang kepala dengan pandangan yang meliar.

Aku harap dia tidak menyadari keberadaanku di sini. Bisa-bisa nanti tersiar kabar kalau seorang Bintang Prasetyo senang mengintip privasi orang.

"Bukan itu, maksudku ...."

Rupanya Erina masih menyahut, kali ini dengan nada yang terkesan agak canggung.

Helaian daun kering berterbangan ditiup angin. Mengusap kulit, menciptakan sensasi gidik yang samar. Rambut hitam Erina terbelai indah. Alam seakan bersinergi guna menciptakan suasana khas. Sebab pernyataan Erina berikutnya secara spontan sukses membuat jantungku berpacu.

"Ada seseorang yang aku sukai."

Ikeh Ikeh KimochiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang