#19. Ekspresi Itu Serasa Membeku

3.2K 174 9
                                    


Sejak hari itu, ekspresinya serasa membeku.

Sorot matanya menyiratkan rasa pilu, yang hingga sekarang tak kunjung berubah. Ekspresi datarnya kini serasa begitu berbeda. Aku tidak tau di bagian mana yang berbeda, hanya saja aku yakin bahwa ia sedang menahan sesuatu yang begitu menyesakkan. Yah, aku memang bisa dibilang belum lama mengenal Erina, tapi setidaknya itulah yang aku lihat dari perspektif pribadi.

Tidak, bahkan semestinya, orang-orang terdekatnya bisa menyadari hal itu.

Lagi dan lagi, Erina masih berusaha bersikap biasa dengan menyuruhku menjual produk jamurnya. Namun entah perasaanku saja atau apa, suasana canggung tercipta di antara kami berdua. Alih-alih membahas atau meminta maaf, aku bahkan tidak memiliki keberanian untuk bertatapan langsung dengannya.

Kami terlihat dekat secara kasatmata, tetapi sebenarnya jarak di antara kami membentang begitu lebar.

Niatku menjadi setengah-setengah dalam menjalankan pekerjaan sales sampai-sampai melakukan beberapa kelalaian yang dulu pernah dilakukan Adena. Ironisnya, sekarang malah Adena yang menutup-nutupi kelalaianku tersebut dari para konsumen.

Lagipula untuk apa aku melakukan pekerjaan itu? Tangga cinta yang susah payah aku naiki sudah runtuh. Tidak ada alasan bagiku untuk fokus mengerjakan hal yang sia-sia semacam itu.

Tapi sebenarnya ... aku hanya bingung mesti berbuat apa. Di tengah kepercayaan diriku yang mulai pudar, akhirnya aku menyadari bahwa besok adalah hari terakhir dari jangka waktu yang diberikan Tian.

Waktuku semakin sempit dan otakku sudah tidak mampu memikirkan rencana lain lagi. Kata "menyerah" terus-terusan terlintas di benakku yang semakin lama melenyapkan semangat bertarung.

Sudah cukup. Semuanya telah berakhir.

"Apa-apaan dengan wajahmu yang seperti gelandangan minta disunat itu, Bin?"

Mendengar ucapan bernada sarkasme itu membuat lamunanku seketika buyar. Aku yang sedang duduk seorang diri di bangku dekat taman kecil-kecilan sekolah sekilas menoleh ke empunya suara. Sembari mengemil jamur Enak, cewek itu—Aila kini berdiri tepat di hadapanku dan memperlihatkan wajah mengejek.

"Oh iya, jamurku laku keras loh. Jamur Kimochi malah turun omset ... ah, itu pasti gara-gara salesnya yang enggak becus. Benar, kan?""

Mood-ku sedang dalam keadaan buruk untuk menyahut umpatannya itu. Aku hanya diam seribu bahasa. Kemudian aku bisa mendengar helaan napasnya yang serupa banteng yang siap menerkam kain merah. Aku yakin itu disebabkan ketiadaan respons dariku.

"Bintang Prasetyo 'kan emang payah. Sok keren, sok pintar, sok hebat, padahal cupu. Kalau begini terus, Bintang Prasetyo bakalan jones seumur hidup."

Tak tau kenapa, sela bibirku terangkat dengan sendirinya. Suara tawa pun berusaha aku tahan, sayangnya beberapa frekuensi berhasil lolos ke luar. Aila masih menatapku sinis, tapi aku bisa melihat secercah kepedulian dari sana.

"Oi, Aila. Kau mencoba menghiburku?"

"Enggak lah! Cuma tampangmu itu akhir-akhir ini bikin aku kesal setengah mati!"

Aila membuang muka, lalu berbalik. "Kamu tau, biar sehebat apapun orangnya, pasti ada satu atau dua hal yang tidak bisa ia lakukan. Ketidaksesuaian kenyataan, ekspektasi, dan tindakan, itu kan cuma bagian dari kehidupan," katanya dengan nada lirih. Sebelum pergi dari hadapanku, ia lanjut berujar.

"Jujur saja pada dirimu sendiri. Seperti yang pernah kamu lakukan ke aku."

Jujur, aku sama sekali tidak memahami apa yang ia coba sampaikan. Hanya saja, aku merasa sedikit lebih baikan dari sebelumnya. Bertepatan dengan diriku yang terpaksa teringat akan arti dari air mata Erina kala itu, lamunanku kian liar, hingga satu kalimat terlintas di pikiranku.

Ikeh Ikeh KimochiWhere stories live. Discover now