#18. Putus Asa

3.4K 176 17
                                    

Area belakang sekolah; tempat penuh sejarah di mana ia mengatakan tidak mengenalku sebelumnya, tempat ketika ia salah paham akan pernyataanku, dan tempat tatkala pernyataan cintaku ditolak mentah-mentah.

Tanpa aku sadari, tempat ini menyimpan banyak kenangan pahit, setidaknya pahit dari sudut pandangku. Aku bukannya menyukai, bukan pula membenci kenangan tersebut. Hanya saja, kepahitan itulah yang menandai pertemuan di antara kami.

Dari balik pohon ini, dengan langkah perlahan, berupaya tidak menimbulkan suara, aku mendekati punggungnya yang masih terlihat sabar menunggu. Ketika aku menggenggam erat pergelangan tangannya, ia berbalik dan membuat mata kami bertemu dalam kurun waktu yang cukup lama. Dirinya yang sebelumnya sempat terkaget-kaget kini mulai melemparkan senyuman pahit.

"Kenapa Kakak bisa ada di sini ...."

Sikap memberontaknya diawali dengan kata-kata itu. Seiring itu, aku semakin mengeratkan genggamanku. Tidak akan kubiarkan kesempatan yang diberikan Adena terbuang sia-sia.

"Erina ... aku minta maaf ...."

"E-eh?" Dia membuat raut muka yang kentara akan keheranan. Dan ekspresi serius yang aku lakukan mampu membuatnya lanjut berujar. "Ti-tidak perlu minta maaf, Kak. Itu kan pilihan Kakak sendiri ...."

Sorot mataku masih mencoba meyakinkannya agar berkata jujur. "Kamu marah?"

"Ti-tidak kok." Erina membuang muka, lalu melanjutkan dengan nada lirih. "Kenapa aku mesti marah ...."

"Kalau begitu kenapa kamu menghindari aku?"

"B-bukannya menghindari atau apa ... aku cuma ...."

Sahutannya terkesan ragu. Tetapi aku sepertinya mengerti mengapa ia bersikap demikian. Dengan mengetahui kebenaran tentang pertaruhan antara aku dan Tian, pastilah akan menimbulkan luka di hatinya. Menjadikan perasaaannya sebagai objek permainan, bahkan mendengar kata-kata menyakitkan yang keluar dari mulutku secara langsung, sekadar menghindar adalah hukuman yang terbilang ringan.

Tanpa sadar genggamanku kian melemah, hingga akhirnya terlepas. Erina mengelus-elus lengannya yang terlihat agak kemerahan.

Jika ia lari, maka semuanya mungkin akan berakhir. Tetapi melihat gelagat Erina yang sekarang, aku yakin ia tidak akan melakukannya.

"Mengetahui semua itu membuatku merasa ... anu ... jijik ...."

Jijik? Ternyata dampak yang dihasilkan lebih parah dari yang aku perkirakan.

Ya, karena inilah aku selalu bersembunyi. Jika mereka mengetahui tentang diriku, segalanya akan hancur dan mereka akan membenciku. Dengan demikian, tidak ada alasan bagiku untuk berada di dunia ini lagi.

Semuanya hanya menginginkan Bintang Prasetyo yang sempurna.

Aku kembali memasang telinga lantaran Erina melanjutkan pernyataannya.

"Maaf, aku punya trauma dengan yang begituan."

Trauma ... ya. Apa karena sebelumnya ia pernah dikhianati, jadinya ia bersikap preventif terhadap semua cowok? Kalau begitu, di saat seperti ini, mengakui kesalahan merupakan tindakan yang paling efektif.

"Ya. Aku memang menjijikkan. Aku memang parah. Aku memang busuk. Cowok paling parah sejagad raya. Tapi ... tolong lupakan apa yang terjadi tempo hari dan izinkan aku untuk memulainya dari awal."

"A-ah ... bukannya aku melarang atau apa. Ini kan menyangkut masalah perasaan ...."

Erina adalah cewek yang baik, aku yakin itu. Namun biar sebaik apapun ia, pastilah akan terluka jika berkaitan dengan perasaan. Sebab perasaan manusia tidak akan pernah bisa berbohong.

Ikeh Ikeh KimochiWhere stories live. Discover now