2. Dear, Mom

629 92 20
                                    

Meski waktu sudah menunjukkan pukul 7 pagi, tetapi sang mentari masih enggan untuk menampakkan diri

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Meski waktu sudah menunjukkan pukul 7 pagi, tetapi sang mentari masih enggan untuk menampakkan diri. Kabut tipis disertai semilir angin masih menguasai kota yang dijuluki Paris van Java itu. Walaupun begitu, hiruk pikuk manusia yang berada di sekitarnya, seolah-olah tidak mengenal kondisi cuaca.

Asap knalpot mulai berebut ingin menguasai udara, berlomba bersama para penumpang yang mengejar bus kota. Berusaha secepat mungkin sampai di tujuan. Suatu hal yang sudah lama tidak terlihat dua tahun belakangan ini. Kota yang nyaris mati itu, kini berpacu untuk bisa berdenyut kembali.

Sejak langit masih kelam, wanita yang kali ini mengenakan baju hangat berwarna biru tua itu sudah meninggalkan rumah. Kini ia sedang berjalan sendiri menapaki area perbukitan. Semakin menjauhi pemukiman penduduk, semakin segar pula udara yang berembus. Ingin rasanya penutup mulut dan hidung itu dilepaskan, tetapi ketakutan mengalahkan segalanya.

Setelah beberapa tanjakan, Kadita berbelok ke kiri menuju sebuah dataran yang dipenuhi pepohon rindang. Entah sudah kali ke berapa ia mendatangi tempat ini. Tidak peduli panas, hujan atau berkabut tebal sekali pun, wanita itu selalu berada di sana. Biasanya hanya beberapa menit. Namun, pernah sekali waktu nyaris seharian di sana.

Rasa nyaman Kadita rasakan saat berada di area yang dipenuhi jajaran rapi bebatuan berwarna putih. Di hadapan tiap batu itu, terdapat gundukan tanah berbalut rumput jepang yang selalu terpotong rapi. Kadita berjalan beberapa langkah, sebelum berbelok, dan mendekati tempat yang dituju. Pusara Sinta, ibunya.

"Bun ... aku datang lagi," sapa Kadita acap kali berada di sana. Ia menghela napas cukup panjang seraya memandang batu bertuliskan nama Sinta Ayudya Btari, disertai tanggal kematiannya. Setelah itu, hanya simfoni serangga hutan dan aroma bunga kamboja yang menemani. Rasa sesal selalu menyelusup dalam kalbu, sejak sosok orang yang melahirkan Kadita itu tidak dapat dirasakan lagi keberadaannya.

Tiada seorang pun siap untuk menghadapi kematian orang yang dicintainya. Meski berulang kali kata ikhlas terucap. Sama halnya dengan Kadita. Walaupun kejadian itu sudah berlalu selama dua tahun, ia masih mengingat setiap detail kejadian yang membuat dirinya dan sang bunda nyaris diusir, dari pemukiman tempat mereka tinggal. Sinta terserang virus yang kala itu belum ditemukan penyebab serta penangkalnya.

Berawal dari sebuah perjalanan ke luar negeri sekitar akhir tahun 2019. Perusahaan tempat Sinta bekerja, mengadakan konferensi sekaligus perjalanan wisata ke Negeri Matahari Terbit. Kadita turut serta, karena ibu tunggal itu tidak tega meninggalkan anaknya sendirian. Beberapa hari setelah pulang diawal tahun 2020, tiba-tiba Sinta jatuh sakit.

Saat Kadita ingin memeriksakannya ke dokter, Sinta menolak. Wanita paruh baya itu memilih untuk beristirahat di rumah, sebelum dua hari kemudian menghadiri acara reuni almamaternya. Kadita sempat meminta sang ibu untuk beristirahat saja, tetapi beliau mengelak. Alasannya, sahabat karib Sinta yang selama ini tinggal di Cina ikut menghadiri acara tersebut. Cemas akan kondisi ibunya, Kadita memaksa untuk menyertai beliau ke acara reuni.

COPY PASTE [Terbit, 2023]Where stories live. Discover now