8. Unnoticed

280 64 13
                                    

Perjalanan menuju rumah Kadita nyaris tanpa hambatan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Perjalanan menuju rumah Kadita nyaris tanpa hambatan. Berulang kali Gayatri mengecek layar ponselnya, khawatir ada pesan dari Kadita yang terlewatkan. Wanita bermata biru itu kembali teringat saat mendampingi Kadita melewati masa berduka. Tak jarang Gayatri menonaktifkan video, saat melakukan konsultasi secara daring. Bukan karena tidak menghormati sang klien, tetapi dia menyembunyikan rasa sedihnya.

Hingga pada suatu waktu sempat menolak melanjutkan sesi terapi. Akan tetapi, Cakra tetap mendukungnya untuk tetap mendampingi wanita yang hidup sebatang kara itu. Melakukan sesi konsultasi terhadap keluarga korban pandemi tidaklah mudah. Apalagi, Kadita tidak memiliki orang yang bisa mendampingi saat terapi. Arum sendiri tidak berada di kota yang sama dengannya. Namun, seiring berjalannya waktu, Kadita berhasil melaluinya. Namun, kali ini Gayatri khawatir jika kondisi kesehatan mental kliennya itu kembali pada titik nol.

Mobil van yang ditumpangi Gayatri pun berhenti di depan sebuah rumah berpagar hitam. Dia bergegas turun, tetapi langkahnya terhenti saat melihat pemandangan yang tak biasa. Tanpa menunda, psikolog itu mengetuk pintu rumah sambil memanggil nama Kadita. Pintu rumah mengayun ke dalam, menyalurkan secercah cahaya pada penghuni rumah.

Gayatri terperangah melihat mata sembab Kadita, disertai rambut panjang bergelombangnya yang awut-awutan. Belum sempat Gayatri mengucapkan sepatah kata, atensinya beralih pada tangan kiri Kadita yang memegang sebuah koper berukuran sedang. Sementara, sebuah tas ransel memeluk erat dari punggung wanita yang mengenakan sweater berwarna merah marun itu.

"Kadita, ada apa? Kamu mau kemana dan ... kardus-kardus yang di teras itu apa?"

Kadita menangis pilu. Dia melepaskan pegangannya dari koper, lalu menghambur ke dalam pelukan Gayatri. Tidak ada satu pun kata yang keluar. Namun, Gayatri dapat merasakan kepiluan, rasa kecewa, dan terluka dalam tangisan kawan bicaranya kali ini. Dia membiarkan Kadita menumpahkannya, seraya menepuk pelan bahu wanita berusia awal 30 tahun itu.

"Apa yang terjadi, Kadita?" tanya Gayatri setelah Kadita sudah merasa lebih tenang.

Kadita menyeka air matanya. "Boleh aku menumpang mobilmu, Kak?"

Gayatri mengangguk. "Kamu mau kemana?"

"Makam bunda. Mau pamit," jawab Kadita. "Aku harus pergi dari sini, Kak."

"Oke. Tapi, kamu mau kemana?"

"Ke apartemen Kakak boleh?"

"Boleh. Tapi, kenapa kamu mau pergi?"

Kadita menarik napas panjang sebelum mengembuskannya kasar. "Tadi, salah satu karyawan di tempat bunda dulu kerja datang. Beliau memintaku untuk mengosongkan rumah. Karena bunda sudah tiada, jadi rumah ini akan di tempati orang lain.

"Aku tahu ini rumah dinas, tapi tidak menyangka akan secepat ini mereka memintaku mengosongkan rumah. Memang seharusnya sejak bunda tiada, aku tidak punya hak untuk menempati rumah ini. Tapi, karena pandemi, mereka memberikan kelonggaran. Aku yang salah karena tidak langsung mengosongkan rumah."

COPY PASTE [Terbit, 2023]Where stories live. Discover now