14. Why Me?

226 51 29
                                    

Setelah kultur syok kemarin, Kadita berjalan lesu menuju lobi kantor

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Setelah kultur syok kemarin, Kadita berjalan lesu menuju lobi kantor. Matanya sembab, akibat menangis semalaman setelah pulang kantor. Penyebabnya tentu saja buah dari presentasi di depan Arya. Nyaris tiga jam Kadita berada di ruang rapat tergagap dan nyaris pingsan. Kini, dia harus menghadapi kemungkinan buruk bertemu lagi dengan sang CEO.

"Gak masuk?"

Kadita menoleh pada suara pria yang masih asing di telinganya. Arjuna, berdiri sambil mencangklong tas ransel. Rambut cokelatnya yang dikuncir berkilauan saat secercah cahaya mentari mengenainya.

"Kenapa?"

"A-aku ... tidak bisa ...." Kadita menunjuk seraya menatap pintu putar yang ada di hadapannya.

Arjuna mengembuskan napas. "Kemarin?"

"A-ada yang bantu ... tapi, tidak tahu siapa."

Arjuna tersenyum sinis. "Melewati pintu itu aja nggak berani, gimana mau menghadapi Aryakarna?"

Kadita menunduk. Jari telunjuk dan jempol kembali bertengger di mulutnya, siap untuk dicacah jajaran gigi yang rapi. Pernyataan Arjuna memang sinis, tetapi masuk akal.

"Duluan," ucap Arjuna sambil melangkah memasukki gedung, meninggalkan Kadita yang termenung.

Tak berapa lama, seseorang menepuk bahu Kadita. Membuat wanita yang mengenakan kemeja kebesaran berwarna biru tua itu terkejut. "Pak Zayn!"

Langit tersenyum lebar. "Udah gue bilang, panggil aja Langit."

"Ta-tapi, Bapak, kan, atasan sa-saya."

Pria berkemeja merah muda itu terbahak. "Santuy aja. Aneh rasanya ngobrol sama orang yang seumuran pakai bahasa formal." Langit menatap lurus Kadita. "Kenapa masih di sini? Khawatir bertemu lagi Arya?"

Kadita membisu. Dia tidak biasa mengungkapkan hal yang dirasa pada orang baru. Jangankan baru kenal, Gayatri yang sudah mengenal Kadita selama 2 tahun terakhir pun belum bisa menjadi sandaran wanita itu sepenuhnya. Masih ada hal-hal yang dia sembunyikan.

"Kamu gak bisa menghindari bertemu Arya. Dia atasanmu juga. Berusaha aja buat gak bikin dia menegur kamu," lanjut Langit. "Meskipun, yah ... terkadang menegur tanpa alasan yang jelas. Can you handle it?"

Sekelebat kejadian siang hari di ruangan Arya dan presentasi kala sore hari, kembali memenuhi pikiran Kadita. Lagi, rasa mual itu menyeruak. Kepalanya mendadak pening. Peluh mulai merembes satu per satu di keningnya. Pikiran untuk pulang ke hotel sempat terlintas, sebelum Langit memberikan setetes kesejukkan embun di pagi hari.

"Jangan khawatir. Sebelum kamu menghadapi Arya, ada aku yang siap mendukungmu." Langit memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Kita masuk?"

Kadita bergeming. Dia tidak tahu bagaimana mengungkapkan ketakutannya akan pintu berputar pada Langit.

COPY PASTE [Terbit, 2023]Where stories live. Discover now