3. The Opposite

456 80 27
                                    

Meski enggan, Kadita melangkahkan kakinya menuruni bukit hingga menemukan jalan besar penuh dengan kendaraan yang berlalu lalang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Meski enggan, Kadita melangkahkan kakinya menuruni bukit hingga menemukan jalan besar penuh dengan kendaraan yang berlalu lalang. Sebuah botol semprot berisi cairan antiseptik dikeluarkan. Secara bergantian, dia menyemprotkannya pada kedua tangan. Tidak lupa, dia mengetatkan masker yang menutupi hidung dan mulutnya.

Kadita sempat menengok ke kanan kiri, menanti kendaraan umum yang kosong untuk membawanya menuju tempat tujuan. Namun, setelah lima belas menit yang ditunggu tidak tampak jua, Terpaksa dia menyewa jasa tukang ojek di sisi jalan.

Setelah mengatakan tujuannya dengan lirih, sang sopir ojek menyerahkan sebuah helm kumal pada Kadita. Meski sempat ragu, dia akhirnya mengenakan penutup kepala itu setelah menyemprotnya dengan cairan disinfektan. Bahkan isi botol berukuran sedang itu nyaris habis. Wanita itu menaiki motor-setelah menyemprot jok-, lalu melebarkan jarak antara dirinya dan sopir ojek.

"Korona mah tos teu aya¹, Neng," celetuk sopir ojek sebelum menyalakan mesin kendaraannya.

Angin menerpa sebagian kecil wajah Kadita. Sulit baginya untuk melihat arah tujuan dikarenakan kaca plastik penutup helm sudah dihiasi bergores-gores. Entah sudah berapa kali benda yang berfungsi untuk melindungi kepala itu terjatuh atau lebih parahnya terbanting.

"Naha teu kana umum atuh, Neng. Naek ojek mah panas. Engke hideung deui²," ujar sopir ojek lagi, saat matahari bersinar cukup terik. "Pan awewe mah sok rudet mun kapanasan. Sieun hideung. Padahal mah hideung ge geulis nyak, Neng? Duh, aya-aya wae³."

Kadita membisu. Perkataan sopir ojek memang benar adanya. Entah beberapa kali dia tidak sengaja mencuri dengar keluhan para wanita di sekitarnya, saat sang mentari sedang bermurah hati membagikan cahayanya. Kadita kerap menghindari sengatannya juga, tetapi untuk alasan yang berbeda.

Tiba-tiba saja sebuah mobil sedan mewah berpelat nomor ibukota, menyalip motor yang ditumpangi Kadita dengan cepat. Kendaraan roda dua itu sempat oleng, tetapi kepiawaian sang pengendara patut diacungi jempol. Pria paruh baya itu spontan mengumpat pengemudi yang hampir mencelakai dirinya. Telinga Kadita memerah dan panas, acap kali umpatan itu terdengar oleh rungunya.

Sekitar lima belas menit kemudian, sopir ojek mulai memperlambat laju kendaraan. Mesinnya berhenti menderu, saat bangunan dua lantai dengan konsep industrial terlihat. Kadita segera turun dan melepas helm yang selama perjalanan menyiksanya. Bukan karena tidak memikirkan keselamatan, tetapi pelindung kepala itu kerap menguarkan aroma tidak sedap.

Setelah membayar ongkos, Kadita mengeluarkan ponselnya dan kembali menghubungi Gayatri.

"Masuk aja," sahutnya dari seberang telepon. "Aku ada di taman dalam. Biar adem."

Kadita terdiam sesaat. "Di dalam ... banyak orang, gak?"

"Sepi, Say. Sini."

Setelah memasukkan kembali ponselnya, Kadita menaiki tangga satu per satu. Sesekali sudut matanya menatap awas. Waspada jikalau mendadak ada orang yang hendak bersinggungan dengan dirinya. Pengalaman mengajarkan berbagai kemungkinan bertabrakan hingga jatuh tergelincir, jika dia bersenggolan dengan orang lain.

COPY PASTE [Terbit, 2023]Where stories live. Discover now