16. Almost Done

221 58 15
                                    

Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Kalimat yang selalu terngiang di telinga Kadita selama 2 tahun terakhir ini. Diawali dengan kepergian sang bunda, sampai bertetangga dengan 3 pria yang mulai menjungkirbalikkan dunianya. Ketenangan Kadita pun mulai terganggu, hingga dia membutuhkan bantuan orang yang dipercaya untuk berdiskusi: Gayatri.

Tak ada yang berubah sedikit pun dari ruangan ini, sejak pertama kali Kadita mengunjunginya. Jendela berbentuk persegi besar tanpa gorden, langit-langit tinggi, serta dinding berselimut cat tembok berwarna biru muda dengan beberapa pot tanaman hijau di setiap sudutnya. Bahkan Kadita menduduki sofa yang sama, seperti saat dia masih belum bisa menerima kepergian sang bunda.

"Abis ada konsul sama pak Cakra?" tanya Gayatri seraya meletakkan secangkir teh chamomile hangat di hadapan Kadita. "Udah konsul yang ke berapa?"

"Enggak, Kak."

Gayatri mengerutkan dahi. "Maksudnya?"

"Ya ... aku mau ketemu Kakak saja."

"Kamu ngegemesin banget, sih," ucap Gayatri sambil menyandarkan badannya di sofa. "Kangen sama aku ya?"

Kadita membisu.

"Kamu udah dihubungin pak Cakra buat konsul?"

Kadita menggeleng. "Aku butuh cerita."

"Bisa, kok. Mau aku anter ke ruangan beliau?"

"Aku ... sama Kakak saja. Boleh?"

Gayatri menatap lurus Kadita. Dia sedang menimbang-nimbang permintaan mantan kliennya. Wanita yang mengenakan blaser warna oranye muda itu khawatir kalau penilaiannya pada Kadita semakin subjektif. "Gini, Ka—"

"Aku butuh teman diskusi, Kak. Aku hanya punya Kakak."

Gayatri terhenyak. Wanita itu seolah-olah di hadapkan pada dirinya beberapa tahun lalu. Saat kejadian yang meluluhlantakkan dunianya terjadi. Ketika dia hanya punya keluarga yang tetap mendukung untuk tetap bertahan, bersandar, bahkan jadi pijakan pertama saat Gayatri mulai melangkah menatap masa depan sebagai psikolog. Hanya saja tidak ada yang tahu perihal masa lalu itu. Menceritakan pada orang lain hanya akan membuka luka yang sudah tertutup rapat.

"Tapi, kalau Kakak tidak mau, aku—"

"As a friend. Best friend," potong Gayatri.

Senyuman perlahan terbit di wajah Kadita. "Terima kasih, Kak."

"Jadi, kamu mau diskusi tentang apa?"

Kadita mengembuskan napasnya. "Aku merasa salah memilih, Kak. Mungkin seharusnya aku tidak menerima tawaran bekerja di Nawang Wulan."

"Karena?"

"Aku tidak terbiasa dengan ... mereka."

Gayatri menarikkan kedua alisnya. "Mereka? Atasanmu atau rekan kerja?"

COPY PASTE [Terbit, 2023]Where stories live. Discover now