00; Katanya Sahabat

99 4 0
                                    

"Menurut kalian, sahabat itu apa, sih?"

Tiga laki-laki di hadapan gadis beralmamater biru tua menautkan alis masing-masing sambil berdeham sejenak. Salah satunya tampak mengubah posisi duduk menjadi lebih dekat dengan si pemberi pertanyaan lalu menopang kedua lengan di lutut dan tersenyum. Menampilkan lekukan manis di kedua pipinya.

"Menurut kamu sendiri, persahabatan itu apa, Cantik? Kamu dulu yang jawab, then I'll tell you about my thought," tukas laki-laki berlesung pipi itu dengan alis naik turun. Tak membutuhkan waktu lama, telapak tangan laki-laki di sebelahnya mendarat di bahunya menimbulkan suara tepukan keras. 

"Dih, Rayyan koplok! Kenapa malah nanya balik, dah. Orang kita yang lagi diwawancara buat buku tahunan, bukan lagi pdkt. Yang bener dikit," omel pemilik tepukan sebelum mendengkus kesal dan melipat kedua tangannya di depan dada.

"Yaelah, Drian. Tepe-tepe dikit aja kenapa, sih? Ini 'kan adik-adik OSIS kita yang lucu," timpal Rayyan seraya kembali ke posisi duduknya di awal. Tepat di samping Adrian yang tampak bersungut-sungut melihat kelakukannya.

"Tahu tempat sama situasi dikit kek, anj-"

"Oke, saya duluan aja yang jawab." Sebelum Adrian menyelesaikan umpatannya, laki-laki jangkung yang sejak tadi memijat tulang hidung mendengar celotehan Adrian dan Rayyan akhirnya buka suara. Membuat dua bocah di sampingnya sontak menoleh dan saling melirik sebal. Tak lupa curi-curi pukulan kesal ke bahu satu sama lain. 

"Yang bener anjir, Rayyan."

"Elu ganggu, sih. Just shut up, Juni mode serius."

"Sahabat itu kalau menurut saya seperti saudara yang didatangkan ke kehidupan kita meski berasal dari keluarga yang berbeda. Mereka datang tiba-tiba, tapi untuk pergi tidak bisa tiba-tiba. Semua orang bisa jadi teman, tapi untuk jadi sahabat perlu sesuatu yang menghubungkan satu sama lain, 'kan? Yah ... saya pikir itu sebuah kelekatan yang terjalin, jadi muncul rasa kalau sahabat adalah saudara kita sendiri," jelas Juni dengan bibir merekah dan kekehan kecil selepas mengucapkan jawabannya.

"Beuhhh~ mantap, Bapak Juni. Big applause, adik-adik," seru Rayyan kegirangan untuk memimpin adegan tepuk tangan meriah dari seisi penghuni ruangan OSIS.

"Udah kayak apaan gue ditepukin."

"Temen lo tuh, Jun. Malu sendiri gue."

"Nah, dari Kak Rayyan sama Kak Adrian gimana, nih? Jawaban dari Kak Juni udah keren banget tuh tadi."

"Kalau dari gue–"

"Kalau dari gue–"

Baru saja tiga kata keluar dari mulut Rayyan dan Adrian, keduanya lagi-lagi saling menatap malas karena menyahut bersamaan. Rayyan mengembuskan napasnya pelan kemudian menggerakan jemari bermaksud menyuruh Adrian menjawab terlebih dulu.

"Sebenernya sahabat itu nggak ada," tukas Adrian. Refleks Rayyan dan Juni membulatkan matanya dan menatap diri Adrian tak percaya.

"Lo gue end aja gimana, Yan? Bener juga ternyata, memang sifat asli keliatannya juga tiba-tiba di waktu yang tidak kita kira." Juni tersenyum getir seraya menarik kursinya menjauhi Adrian.

"Jadi selama ini kamu anggap aku dan Bapak Juni ini apa, Adrian? Sungguh teganya!" gerutu Rayyan yang mengikuti Juni untuk menjauhkan kursinya dari Adrian yang berada di tengah.

"Coy, jangan hiperbola, dah. Gue belum kelar ngomong." Adrian berdecak kemudian menarik kedua temannya untuk kembali duduk di samping kanan kirinya.

"Jadi gini ... sahabat itu emang nggak ada, kalau nggak saling butuh. Simbiosis mutualisme. Lo berguna buat gue, gue pun berguna buat lo. Lo susah, gue bantuin. Giliran gue susah, lo yang bantuin gue. Saling membutuhkan," lanjut Adrian, membuat dua laki-laki di sampingnya mengangguk-angguk bak hiasan di dashboard mobil.

KKM: Kembara Kembar MicinWhere stories live. Discover now