- 02

521 94 28
                                    

Di lemari, aku menemukan banyak pakaian yang digantung berjejer pada walk-in closet. Tapi perhatianku jatuh pada gaun panjang tanpa lengan di sudut paling kiri lemari. Aku menariknya. Bahannya beruba tulle kaku. Kemudian, aku memutuskan untuk menggunakannya entah dalam tujuan apa. Hanya penasaran.

Hari ini hari minggu. Tapi meskipun begitu, aku tidak punya agenda keluar rumah. Dokter memintaku bed rest. Tapi gaun hebring di lemariku terlalu menarik untuk diangguri begitu saja. Warnanya merah merona. Aku memakainya dan bercermin. Tapi setelah Taufan berteriak dari luar, memanggilku, memintaku berkemas diri dan sarapan, aku cepat-cepat berganti baju lagi.

Taufan sudah memasak, dan menghidangkan makanan sederhananya di meja makan. Aku cuman perlu duduk, dan memerhatikan real food itu.

"Aku baru sadar." Kataku. "Aku nggak suka sayur. Kecuali rumput laut."

Taufan duduk di sebrangku.

"Kamu punya pertanyaan lain?" Taufan mengulum senyum. "Aku membuka forum tanya-jawab."

"Apakah toleransiku terhadap makanan pedas cukup bagus?" Tanyaku. Barusan, aku menonton televisi. Ada yang mengiklankan produk lasagna pedas. Aku tertarik mencoba, tapi aku takut terserang gerd dan mesti mengonsumsi omeprazole dua kali sehari selama dua minggu penuh. Oh, ya. Aku bahkan baru saja mengingat nama obat harianku sebelum aku koma.

Taufan tampak menimbang-nimbang, "lumayan."

Aku mengangguk. Aku bisa makan pedas.

"Kemana orang tuaku?" Tanyaku.

"Ayahku sudah tidak ada. Sedangkan ibu ... dia pergi tak tahu kemana. Pacarnya banyak. Ada lima. Aku pusing menjelaskannya." Taufan mengangkat bahu. "Terakhir ibu mengontak, yang kudengar justru suara kepolisian. Ibu dikabarkan meninggal."

Oh. Aku tahu kenapa dia kelihatan ogah menjawab pertanyaanku kemarin.

"Lulusan mana aku?" Tanyaku.

Mata Taufan melarikan diri dari pandanganku, "Universitas Indonesia."

Aku menyilang tangan, "Negara tetangga?"

"Ya. Berada dua jam dari sini bila kamu pergi dengan pesawat." Taufan menjawab tanpa semangat.

Aku mengerti sekarang. Aku mengerti mengapa kebanyakan dari informasi dan pengalaman bekerjaku dilandasi pengetahuanku terhadap hukum di negara maritim itu. Kurasa aku baru di Malaysia.

"Kenapa aku jauh-jauh pergi kuliah ke sana?" Aku melanjutkan pertanyaanku yang tadi.

Taufan mengangkat bahu, "Aku tidak tahu kenapa. Itu alasan pribadi yang tak kamu beberkan sebelumnya."

"Apakah aku memang suka lupa meletakkan dimana remot AC?" Aku menggerutu. Pertanyaan itu sangat esensial bagiku.

"Kamu selalu lupa. Remot AC. Kunci rumah. Kaos kaki yang padahal kamu duduki. Gunting kuku. Semuanya." Ujar Taufan.

Aku meraih centong nasi, dan menyendok nasinya ke piring, "seberapa banyak jatah makanku?"

"Kalau di luar—kamu jaga image—kamu hanya makan pada porsi fine dinning. Tapi di rumah, aku memperhatikan, kamu hobi makan nasi lima centong." Taufan menunjukkan kelima jarinya di depan mukaku. Aku malu. Tapi karena penjelasannya barusan, kurasa aku terbiasa makan banyak. Aku perlu menyesuaikan diri, jadi aku memboyong lima centong nasi ke dalam piring. Persetan. Taufan itu kakakku. Dia sudah tahu segala-galanya. Aku tak punya alasan untuk malu.

"Yang mana lauk favoritku?" Tanyaku.

"Semuanya. Kecuali sayur." Taufan mengerucutkan bibir.

Aku menatap pada sup bening yang aku sinyalir sebagai hidangan paling mematikan di meja makan. Mataku mengedip. Otakku berpikir. Sejumlah brokoli dan kubis mengambang di permukaan supnya. Wadahnya bening karena dibuat dari kaca, jadi aku dapat menelisik secara lebih teliti dan presisi. Wortel dan potongan ayam overcook mengendap di dasarnya. Aku mempertimbangkan apakah aku akan memakannya atau tidak dengan mengimajinasikan rasa sayur-sayurnya. Mereka—sayur-sayur chartreuse itu—tidak dimasak terlalu matang. Rasanya pasti agak keras.

Taufan x Reader | You Can Call Me AbangWhere stories live. Discover now