- 13

388 74 95
                                    

Ying mengangkat makhluk itu tinggi-tinggi, dan membolak-baliknya. Ying tampak bingung, sekaligus heran. Makanya Ying berkali-kali meneliti kembali setiap ceruk tubuh Glacier sambil mengernyitkan dahi. Ying memperlakukan Glacier seperti benda asing di luar ilmu pengetahuan manusia. Dia penasaran. Dan dia ingin tahu asal-usul Glacier—dimana Glacier terbentuk, dan bagaimana bisa seorang anak manusia dapat menjadi semanis es krim hazelnut berpadu permen kapas?

"Dia beneran manusia?" Tanya Ying, terheran-heran. "Kok kayak bukan manusia? Glacier makanan, kali. Ini bisa dimakan?"

"Ini namanya Tante Ying." Aku memperkenalkan, sembari tak mempedulikan omong kosongnya Ying.

"Tante Ying!" Glacier mengulangi, antusias. Glacier bukan anak petakilan, tapi ia cukup bersemangat ketika aku mengajaknya kemari. Glacier sempai minta diantar ke taman firma. Kebetulan ada sejumlah begonia dan perosotan plastik di sana, dan Glacier berjalan-jalan, mengejar kupu-kupu di antara hamparan begonia itu.

Kini, aku membawanya ke lobi, tapi sialnya ada Ying. Ying jadi menanya-nanyai aku soal Glacier; darimana kudapatkan Glacier hingga aku membawanya main ke firma, kenapa Glacier imut sekali, dan terbuat dari apa Glacier itu. Pembahasan psikopat.

Bagi orang-orang seperti kami—aku, Ying, Iwan, Gopal—keberadaan seorang anak mungil bukanlah perihal yang lumrah. Kami awan terhadap pemandangan ini. Dari pagi ke malam, kami hanya menyidik map-map dari kepolisian, bicara dengan klien melalui panggilan darurat atau temu wicara, bergosip mengenai perekrutan Pantarlih Kuala Lumpur. Hidup kami serius, kami hanya bercanda apabila seseorang di antara kami mencoba melawak. Biasanya sih, Gopal. Tapi lawakannya selalu tak disambut baik oleh Ying.

Ying, ketua paguyuban preman pasar berkebangsaan Tionghoa itu, lunayan tetarik pada Glacier. Dia meminta persetujuanku untuk menggendong Glacier, dan mengelus-elus rambutnya, dan mengajaknya bicara.

Ying kemudian menurunkan Glacier, dan menggendongnya. Glacier sih pasrah-pasrah saja. Anak itu terlihat terlatih untuk bersikap tenang di lingkungan baru. Apakah Glacier terbiasa dioper sana sini, digendong oleh banyak orang, dan berpura-pura tidak sebal karena dipegang-pegang?

"Pelihara yang kayak gini, dikasih makannya apa, (Nama)?" Tanya Ying kemudian.

Aku melamun, aku mengingat tiap kalimat-kalimat yang dicetuskan Mamanya Glacier di depan pintu, "Mamanya Glacier bilang, Glacier minum susu. Dan karena lambungnya udah kuat, dia bisa dikasih makan nasi, seperti menu orang dewasa. Tapi Mamanya Glacier mengecualikan makanan seperti ceker mercon, mie ayam jeletot, mie setan level lima dan bakso jeletot kuah setan. Itu yang kuingat."

"Berapa kali frekuensi makannya?" Ying membalikkan badan. Ia berhadapan denganku. Glacier tampak linglung di gendongannya, tapi Glacier tidak mengeluh. Hari ini, Glacier memakai jaket bulu dengan telinga kelinci. Jaketnya menjadikannya kelihatan gembrot, mirip beruang polar berbulu putih berwajah manusia.

Aku menarik sekotak susu almond dari tas besar yang kujinjing di tangan. Selama aku bekerja, aku tidak akan membawa apapun selain map-map klien berisi rincian kasus dan persyaratan ketentuan sidang, dompet berisi kartu debit serta duit cash, dan ponsel. Hanya kali ini saja, aku membawa tas bervolume besar untuk memuat barang-barang kebutuhannya Glacier. Aku mengemas empat kotak susu, bekal berupa nasi, sayur bening wortel dan brokoli, serta ayam bumbu kunyit di dalam misting. Aku juga menyelipkan tablet supaya ketika Glacier bosan, dia bisa menonton My Little Pony—kebetulan aku sudah mensave playlist tontonannya Halilintar.

Oh ya. Dan tisu basah. Mamanya Glacier Bilang, anak-anak kalau makan suka belepotan. Tadi malam, aku jadi menyuruh Taufan pergi ke minimarket untuk membeli tisu basah, minyak ekaliptus, dan kapsul vitamin yang bagus untuk tumbuh kembang anak.

Taufan x Reader | You Can Call Me AbangOù les histoires vivent. Découvrez maintenant