- 14

374 73 55
                                    

Taufan dan Halilintar rajin bersitegang. Mereka saling tidak suka, tapi Halilintar lebih kentara mengekspresikannya. Terutama kali ini, sesudah insiden barusan saja.

Aku pun memutuskan untuk marah pada Taufan.

"Bisa-bisanya kamu, Taufan." Aku menuntut. "Kamu bilang kamu sayang aku, tapi kamu enggak bisa membedakan kami."

Aku melirik Halilintar, di sebrang sana. Ia menyilang tangan, tabletnya diletakkan di pangkuan. Dan ia nampak malas menengahi.

Taufan, sosok setinggi Halilintar di sebelah sofaku, bergidik ngeri, "M-maaf. Aku enggak lihat-lihat dulu. Aku langsung mengajak kamu makan siang, (Nama). Halilintar lagi duduk di ruangan kamu, dan dia enggak bersuara sama sekali, aku jadi pede mengira kalau itu kamu ..."

Aku memalingkan mata pada jam dinding. Glacier melenguh. Dia tertidur di pahaku. Anak kecil ini dibiasakan tidur siang oleh mama papanya, makanya aku telah menyediakan payung sebelum hujan; aku membawa selimut. Glacier yang manis rawan digigit nyamuk. Aku mencolek pipinya selagi aku menunggu Taufan membela diri lagi.

Tuhan, apakah anak kecil begitu rapuh? Mereka gampang sekali mati, ya? Kelihatannya begitu. Mereka hanya terdiri dari daging yang empuk dan tulang. Mereka kecil sekali. Seperti ... botol Yakult.

"Alesan aja," Halilintar menyeringai. "Jadi ini yang namanya sayang?"

Dia kompor juga. Aku tidak berasumsi Halilintar bisa menjadi semenyebalkan itu.

"(Nama)," Taufan menatapku, mengharapkan pengampunan. Ia menggeser bonkongnya agar ia bisa berhadap-hadapan denganku. Ia mencengkram kuat lengan atasku yang tengah memegangi kepala Glacier agar tidak jatuh. "Maaf, ya."

Halilintar kemudian berdiri, "Udah, ah. Gue pergi dulu, (Nama). Gue orang sibuk, tahu."

"Najis! Enggak nanya." Aku menghardik.

Halilintar mengerling, lalu pergi seenak dengkul. Dia datang dan pergi sesuka hatinya. Kupikir dia menghampiriku jauh-jauh kemari hanya untuk kentut dan menonton seepisode My Little Pony. Kakak kurang kerjaan. Apakah orang itu pengangguran? Lalu apa fungsinya Shielda, sebagai sekertarisnya?

Setelah pintu tertutup, aku mendengar rengekan Taufan lagi.

"(Nama) ..." Katanya. "Aku kira Halilintar datang ke sini untuk menjemput kamu pulang."

Aku mengangkat bahu, "Andai benar begitu, aku enggak mau. Aku udah bilang, 'kan? Aku capek, aku mau jadi istri kamu aja."

Aku capek, dan tidak punya tenaga tersisa untuk ribut-ribut dengan dunia. Aku sebatas ingin berlindung di balik naungan Taufan, dan menjadi nyonya di rumah manisnya. Aku cuma mau repot-repot membantu Solar karena ia tumbuh dewasa denganku—dan setelah kasusnya selesai, aku mau pensiun sejenak.

"Kamu enggak marah?" Taufan bertanya, mulutnya masih cemberut.

"Enggak." Aku menyisir rambutku ke belakang dengan jemari. "Aku mau memanjangkan rambut ini saja. Walaupun itu artinya, aku akan lebih disukai Ejojo."

Itu hal kecil, tapi menjijikan. Aku ingat betul bagaimana ekspresi wajah Ejojo saat ia berkata, ia lebih menyukai aku saat aku berambut panjang. Aku langsung tercekik dan mau memuntahkan sarapanku ke lantai, hingga aku punya pikiran untuk memangkas habis rambutku, agar ia tidak melirikku sama sekali.

Lagian, aku punya kepentinganku sendiri. Aku enggak terima Taufan mengelus rambut Halilintar dengan mesra, dan menanyakan kebersediaannya untuk makan siang. Aku juga mau disisirin Taufan lagi.

Taufan x Reader | You Can Call Me AbangWhere stories live. Discover now