- 17

391 69 48
                                    

Taufan baru mandi. Dia mengenakan piyama lagi. Piyamanya warna biru. Biru tua. Dan setelah mandi, Taufan pergi ke kasur, kemudian dia menyundul kepalanya di antara kedua tanganku yang tengah mengetik di ponsel dalam posisi berbaring.

Taufan berakhir berbaring terlentang di kasurnya, di antara kedua tanganku. Aku tetap mengetik, aku berusaha mengabaikan Taufan yang menarik selimut untuk membungkus tubuh kami, dan dia menyamankan dirinya di dadaku.

Taufan mengantuk. Dia menguap panjang sembari menutup mulutnya. Matanya segera berair.

Aku meluangkan waktuku untuk sesekali mengelus rambutnya, dan kemudian kembali mengetik di ponsel untuk obrolanku dengan Ying. Taufan menyelipkan tangannya untuk memeluk pinggangku. Dia ingin tenggelam dalam kehangatan.

"Kamu tadi kemana, kok pulang malem?" Dia bertanya. Kurasa dia cukup terganggu akan itu, sehingga ia mengungkapkannya padaku sejam setelah aku diantar pulang oleh Ying.

"Aku pergi ke pemakamannya Kokoci." Kataku. "Tadinya mau sekalian nyari Halilintar. Aku mau tanya apakah dia sudah menonton My Little Pony versi movie yang baru rilis itu, loh. Siapa tahu dia belum pergi ke bioskop karena kudet. Tapi Halilintar atau Mama enggak ada di pemakamannya."

Taufan mendongak. Aku merasakan dia agak menggeliat di dalam selimut untuk mengonfrontasi aku.

"Kamu enggak ketemu Ejojo?" Tanya Taufan. Aku lekas menurunkan ponselku, dan memutuskan untuk memerhatikan Taufan dengan seluruh atensiku.

"Aku ketemu, kok. Ejojo ada. Aku pikir Ejojo emang bakalan dateng. Dia kan, sohibnya Kokoci. Bisa dibilang begitu." Kataku. "Di sana juga ada Solar. Anggaplah Solar perwakilan dari Retak'ka, dan ada Bagogo juga. Bagogo datang lebih telat dariku. Dia menyusul ketika hanya tersisa tiga orang di pemakamannya. Ketiga investor lainnya hadir melayat. Cuma dari pihak Mama yang enggak datang."

Taufan menatapku khawatir, "Ejojo bilang sesuatu? Kamu berpapasan dengannya?"

Aku mengelus lembut rambutnya Taufan, lagi, "Enggak, Bayi Besar. Oh ya. Jangan buat dirimu sendiri gelisah soal Ejojo. Lebih baik kamu membuang jauh-jauh pikiran itu. Kamu berpikir aku bisa dihasut? Aku tidak mau menikah dengan orang tua bangkotan. Lebih baik Ejojo mencari janda anak tiga di pengkolan gang. Dia seusia Mama! Bahkan lebih tua, Taufan! Ish! Aku merinding."

Taufan lega. Senyumnya terbit, dan ia memelukku lagi.

"Kamu bayi beneran, ya? Atau gimana? Kenapa kamu lucu banget, Taufan?" Aku memegang kedua pipinya, dan menyuruhnya menengadah, agar aku bisa menatapnya dari mata ke mata. "Ini pipi atau martabak, hah?"

Aku melihat Taufan melepaskan rona merah semu di kulit pipinya. Aku tak bisa menahan diri untuk mencubit pipinya, "Mulai sekarang, kamu tuh bayi aku. Kamu punyaku. Kamu bayi. Oke?"

"I-ih, aku bukan bayi." Taufan berusaha menyangkal.

Aku membetulkan selimutnya, agar selimut itu melapisi leher Taufan dengan benar. Aku menepuk-nepuk punggungnya, dan mengecup singkat puncak kepalanya.

"Kamu bayi." Aku mendeklarasikan. "Pokoknya kamu bayi. Kamu manis banget. Gila! Untung, aku udah kawinin. Soalnya aku takut kamu digondol cewek lain."

"A-aku ..." Taufan kehilangan kata-kata. Kemudian, karena tak mampu menahan malu, Taufan bersembunyi di selimutnya.

Aku tertarik untuk menggodanya lebih jauh. Aku bangkit duduk, dan aku mengguncang tubuh Taufan, memintanya keluar dari selimut. Taufan menyembulkan kepalanya sedikit, namun ketika ia menjumpai aku menyeringai, Taufan kembali pergi mengamankan diri ke selimutnya.

Taufan x Reader | You Can Call Me AbangWhere stories live. Discover now