- 03

470 88 34
                                    

Taufan pergi lagi, dan ia meninggalkan aku sendiri di rumah. Taufan meninggalkan uang cash lainnya. Dan ia membelikan aku ponsel baru. Aku sudah bertanya kemana ponselku yang sebelumnya, berharap dengan itu, aku bisa terbantu mengingat melalui memori internalnya. Tapi Taufan bilang, ponselku rusak karena kecelakaan.

Aku memandangi masing-masing dari dua benda itu; ponsel baru dengan batok charger yang dibeli terpisah, dan sepuluh lembar uang cash. Ponselnya kopongan. Tidak ada isinya kecuali nomornya Taufan.

Aku memutuskan untuk meninggalkan ponsel dan uangnya di meja ruang keluarga dan berkeliling di rumah. Rumah ini jenis rumah tradisional. Furniturnya rata-rata dibuat dari kayu. Apapun yang kulihat memanglah perlu dipuji nilai estetikanya—namun aku berusaha memerankan (Nama), gadis amnesia ini, sebagai arsiteknya. Aku tidak suka sentuhan cozy di dinding kayu hasil pernisnya. Orang seperti aku lebih menyukai desain futuristik minimalis. Aku mengira-ngira kenapa desain rumahku—dan terutama kamarku—tidak sesuai dengan seleraku.

Aku lebih ingin tinggal di hunian modern yang temboknya ditimpa heavy duty bercorak emboss.

Lagi pun, (Nama)—yakni diriku sendiri—sangat minim identitas di rumah ini. Aku melihat banyak pajangan terutama di ruang tamu. Tapi pajangan-pajangannya hanya berupa foto pemandangan bentang alam dan lukisan tiruan Monalisa. Oh ya, dan foto perempuan dewasa berbusana kurung. Ia mengenakan hijab biru tua. Ciputnya mencuat keluar dari lipatan hijabnya dan menutup sebagian kecil keningnya. Roknya sangat panjang serta heboh. Ia duduk sendiri sembari memangku buket bunga kaca piring. Fotonya diambil di studio foto—lightingnya terlalu bagus untuk diasumsikan sebagai hasil potret amatir.

Aku sudah berkeliling rumah. Tapi aku tak menjumpai foto lain selain foto pemandangan alam. Taufan atau aku, atau ibu kami, atau ketiga-tiganya sangat menggemari aktivitas pendakian gunung dan selalu memotret peristiwa sunrise di pucuknya, lalu mefigurakan hasil fotonya di tembok. Bahkan di kamarku pun ada.

Aku bernisiatif bertamu ke kamarnya Taufan, ingin meninjau apakah disana pun ada potret alam atau tidak. Kamarnya Taufan bersebelahan dengan kamarku. Mengejutkannya, kamarnya Taufan tidak lebih besar dari kamarku. Kamarkulah yang paling luas di rumah ini; aku penasaran kenapa. Aku sangat yakin dulunya, aku cukup egois dan mau menang sendiri. Aku ingin tahu benarkah egoismenya (Nama) juga berkaitan pada ukuran kamarnya? Cukup konyol. Mempertarungkan kepemilikan kamar rasanya sudah sedramatis memperebutkan harta gono-gini melalui persidangan hak waris dalam persilsilahan keluarga problematik.

Aku masuk ke kamarnya Taufan. Taufan tidak melarangku masuk ke kamarnya. Dia bilang aku boleh berbuat apapun; memberantaki dapur dengan mencoba memasak, jajan-jajan ke luar, menonton televisi seharian tanpa mandi, atau berjalan-jalan saja untuk merilekskan diri.

Kamarnya Taufan nyatanya lebih sederhana dari bayanganku. Hanya ada ranjang yang bantalnya kelihatan empuk, satu selimut dari bedcover, lilin terapi beraroma teh pada nakas bertaplak sutra, dan satu lemari usang berpintu ganda. Taufan tak tampak meninggali kamar ini, Taufan justru lebih terlihat seperti penghuni hotel yang menyewa seunit kamar untuk disinggahi secara sementara. Sebab tumpukan bajunya ada di sofa, bukan tersimpan rapi di lemari, dan ia tidak meletakkan benda pribadi apapun di atas meja kerjanya.

Aku menyentuh meja mahoni kerja di kamarnya Taufan. Mejanya menempel ke tembok, dan menghadap langsung pada jendela casement berengsel tersembunyi. Gordennya terbuka, mengizinkan cahaya mentari menerobos masuk dan menerangi seisi ruangan. Buku-buku di meja, setelah dibuka, sesungguhnya bukan buku betulan atau buku pribadi punyanya Taufan. Benda mirip buku itu hanya suvernir dari pembelian sejumlah produk high end.

Tidak ada buku. Ini bukan buku, melainkan ornamen pemanis.

Aku menarik laci di mejanya. Sesuai dugaanku, tidak ada cukup banyak barang.

Taufan x Reader | You Can Call Me AbangWhere stories live. Discover now