- 06

408 81 56
                                    

Aku belum terbiasa menganggap normal kehadiran Taufan di kamarku. Selama semingguan ini, kamarku berada di bawah kepunyaanku—ini zona privasi milik pribadi.

Walau Taufan bilang, dia suamiku, atau apalah, aku tak berpikir sehari setelahnya, ia langsung akan memproklamikirkan kamar ini sebagai kamarnya juga.

Aku menelan udara jenuh ke paru-paru, "bisa aja, kamu bohong lagi, Bang."

"Apa untungnya berbohong?" Jawab Taufan. Aku mencegat pria ini di ambang pintu. Aku tak suka ia datang dengan bantal dan lipatan selimut di pelukannya. Aku tidak dibriefing untuk berbagi kamar dengan siapapun, makanya aku marah dan menyetopnya di sana.

Taufan membebankan bantal dan selimutnya kepadaku.

"Pegang sebentar. Aku akan kembali segera." Ujar Taufan. Orang itu ngibrit ke kamar sebelah. Dan sesuai ucapannya, dia datang lagi, tapi kini dengan map plastik yang diresletingnya digantungkan seonggok gantungan kunci berupa untaian mutiara-mutiara. Taufan mengeluarkan selembar kertas HVS hasil fotokopian dan menunjukkannya padaku, "tolong dibaca, ini sudah dilegalisir. Kamu pengacara bukan, kamu tak asing dengan manuskrip data sipil."

Lembarannya telah kusut. Warnanya hitam-putih. Dilaminasi oleh plastik tipis yang kusam. Aku menelisik kertas apa itu.

"Kartu keluarga." Aku membaca lantang-lantang. Namaku tercatat dibawahnya nama Taufan.

"Kamu percaya?" Taufan menyatukan alis.

"Zaman sekarang orang bisa memanipulasi ini dengan Photoshop." Aku menggertakkan gigi. Aku tidak trauma ditipu sehingga aku trust issue, aku hanya mencari-cari pembenaran supaya Taufan tidak menerobos masuk pintu kamarku dan tidur di ranjangku dengan pembelaan berupa kartu keluarga.

Taufan memasukkan kertasnya ke map lagi, dan ia beralih memamerkan dua buku saku dengan warna berbeda. Warna bordiran tulisannya yakni emas, dan di halaman selanjutnya, tanda tanganku terlampir dengan cap pengadilan agama. Ada fotoku juga.

"Apa kamu masih tidak percaya? Ini jelas tanda tanganmu." Taufan bersikeras meyakinkanku. Sesudah berpuas diri menunjukan buku nikahnya, Taufan merapikan benda itu kembali ke pengarsipannya, dan ia memperlihatkan lockscreen ponselnya.

Itu aku.

"Pernikahan kita dibuat terburu-buru. Karena mama kamu punya proyek besar lain dengan mamaku," Taufan memaparkan. "Kamu memang enggak dirias dengan mewah. Pernikahan kita sederhana. Hanya ada seratus tamu. Itu pun dipilih dari kenalannya orang tua kita saja. Lihat, ini kamu."

Mukaku disana tampak cemberut.

"Oke. Tapi bukan berarti, kamu boleh tidur di kamarku." Aku mendeklarasikan. "Aku masih perlu beradaptasi."

Aku menyerahkan selimut dan bantalnya balik. Sambil memeluk mapnya juga, Taufan menerima selimut dan bantal itu. Mukanya pasrah sekali.

"Aku ..." Taufan menghela napas. "Aku paham. Aku lupa bilang, (Nama). Kamu mau berbincang sebentar denganku pun, aku sudah bersyukur. Karena sebelumnya kamu enggan bicara. Sedikit pun."

Ia menurunkan volume suaranya dari kalimat per kalimat. Bahkan di kalimat terakhir pada narasinya barusan, Taufan hampir terdengar seperti berbisik.

Taufan tetap menyajikan senyum. Ia berbalik memunggungiku, dan pergi ke kamar sebelah. Aku pun masuk ke kamarku, dan mengunci pintunya. Aku menyimpan punggungku di daun pintu, dan merosot ke bawah. Pada epilognya, aku duduk di lantai.

Aku pusing. Aku terlalu denial untuk membiarkan makhluk itu masuk ke kamarku tanpa aba-aba. Aku belum memutuskan seperti apa aku mesti memperlakukan Taufan. Aku telah memperoleh perasaan itu kembali—filosofi dari rasa benciku pada Taufan, sebab kami dinikahkan bukan berdasar kemauanku sendiri. Tapi aku merasa, aku bisa melihat diriku sendiri di kacamata lain akibat dari amnesianya. Aku menilai, aku terlalu tempramental dan sering melibatkan sentimen. Taufan, bagaimana pun, tidak bersalah. Dia tidak berusaha menjebakku dan sama-sama dirugikan. Taufan berjuang mengerti, sedangkan aku tidak.

Taufan x Reader | You Can Call Me AbangWhere stories live. Discover now