- 08

401 85 122
                                    

"(Nama), sana ke meja makan. Disuruh mak—HAH?!" Halilintar memekik dan membanting pintu kamarku. Laki-laki itu lantas menghampiri aku, dan melotot.

"Apaan, sih?" Aku membentak tak kalah keras. Entitas kocak ini datang ke kamarku pagi-pagi sekali. Tanpa mengetuk pintu, enggak pake permisi, dan main suruh-suruh aja.

Pandangan Halilintar berlabuh ke benda genggaman tanganku, lalu ia memindai keadaan kamarku. Kamarnya normal, tapi kondisi lantainya tidak. Aku belum membereskan kekacauan yang kubuat setelah bangun tidur. Di lantai itu, penuh potongan rambut.

Halilintar merebut gunting dari tanganku lalu memaki-maki, "ngapain lo mainan gunting?"

"Karena gue Akashi Seijuro." Aku menjawab pede. Mendengar pengakuanku, Halilintar tidak bergeming dari posisinya. Dia malah mengecapku gila. "Bercanda. Emang lagi pengen potong rambut aja."

Aku hanya merasa ... aku stress. Aku bercermin hingga tengah malam. Aku memerhatikan rincian dari tubuhku. Aku jadi ingat, Taufan bilang padaku, dia suka rambut panjangku. Makanya kupotong saja rambutku.

Aku tak berharap aku disukai Taufan. Taufan bisa menyukai wanita rambut panjang lain, asalkan jangan aku. Supaya segalanya menjadi lebih mudah baginya.

Halilintar mencomot rambutku yang berada di pinggir telinga, dan mengangkatnya seolah ia menghinanya habis-habisan, "lo pikir ini bagus?"

"Minggir, Bang." Aku menepis tangan Halilintar dengan begitu keras. "Rambut lo juga enggak ada bagus-bagusnya. Udah kayak tanaman narkoba kekeringan."

Halilintar mendorong pundakku agar aku berhadap-hadapan ke cermin. Sontak, aku terkejut. Saat aku memotongnya, model rambutku memang berubah. Tapi kupikir, yah, biasa saja, selama alisku enggak pindah ke pantat. Tapi ketika aku bersanding dengan Halilintar, aku menciptakan pemandangan yang mengerikan. Entah mengapa Tuhan menganugerahkan aku wajah ini—wajahnya Halilintar.

Aku mengelus wajahku. Kulitnya kenyal. Aku terlampau terlihat mirip seperti Halilintar.

"Kalau rambut lo pendek begini, lantas apa yang membedakan kita?" Halilintar menyulut cek cok lagi.

Aku segera membalikkan badan dan bersiap meluapkan marah, "gue lebih cantik dari lo."

Halilintar memutar mata malas.

"Udah. Ayo turun. Ditunggu Mama." Halilintar nggak demen meladeni aku, makanya ia mempercepat urusannya di kamarku.

"Oh. Boleh." Aku mengelus perut. Perutku mengempis.

"Kenapa enggak ganti baju?" Halilintar mengernyit. Pada awalnya, Halilintar sudah pergi mendahuluiku. Namun ia berhenti ketika aku secara sukarela mengikutinya di belakang. Aku memandang pada pakaianku. Piyama. Lengan pendek, celana pendek. Setelan anti gerah. Tapi bahannya satin, agak licin, nggak menyerap keringat; tapi ini masih nyaman digunakan. Kemudian, Halilintar melanjutkan ucapan tololnya, "ada tamu di bawah. Pakaian lo terbuka banget, kayak mau jual diri."

Aku memandangnya sinis. Masalahnya, Halilintar juga berpakaian minim. Dia pake kaos partai. Aku rasa, Mama menjalin afiliasi pada paslon legislatif, jadi Mama punya suvernirnya, yang kemudian Mama mewarisinya ke Halilintar. Nggak ada dugaan lain untuk menebak darimana Halilintar memperoleh kaos oblong itu. Dia juga memakai celana pendek. Modelan boxer, tapi itu versi luaran.

Aku mengibaskan rambut baruku, "jual diri? Udah. Taufan pelanggan setianya."

Aku melengos ke luar pintu kamar, tanpa menghiraukan Halilintar meloloskan umpatan dari mulut baladonya.

Rumah ini, sesuai pada imajinasi rumah idamanku. Rumahnya juga membawa banyak memori. Bahkan ketika aku sampai di sini, aku langsung ingat bagaimana caranya Mama menekanku untuk juara satu, padahal aku lagi sakit pilek menjelang minggu-minggu ujian. Alhasil, aku selalu terjaga hingga tengah malam, mengejar ketertinggalan pelajaran, sebab aku izin pergi ke rumah sakit dan dirawat jalan selama tiga hari.

Taufan x Reader | You Can Call Me AbangWhere stories live. Discover now