- 11

379 71 92
                                    

Aku terkejut. Di firma hukum ini, aku memiliki ruanganku sendiri. Namaku bahkan terpatri di batu marmer sebelum gelar magister itu, dan digarisbawahi dalam posisi pegawai associate. Setahuku senior associate, jabatan lainnya yang berada setingkat lebih tinggi dariku, ialah si Pak Tua Kaizo. Kaizo mencapai puncak karir dari pengacaranya sebagai senior associate sudah cukup lama. Biasalah.

Kaizo itu orang tua yang diseniorkan. Aku ingat aku memiliki ketidaksukaan secara alamiah padanya, karena Kaizo terlalu congkak ketika bekerja. Ideologi kerja kami juga bertentangan.

Aku duduk di kursiku, dan mengingat apa-apa saja yang telah kuperbuat di ruangan ini selain merokok dan menelpon empat belas selingkuhanku.

Tok tok tok

"Masuk." Aku menopang dagu, dan menumpukan tangan di atas meja kerja. Aku menatap kehadiran tamuku hanya seperti ini; aku mengulas senyum kecut, yang entah diterjemahkan oleh Solar dengan cara apa, aku juga segera mempersilahkannya duduk di kursi sebrang. "Duduk, Solar."

Solar datang dengan pakaian kantoran. Kupikir dia punya agenda lain setelah ia bicara padaku. Solar sebetulnya ogah kuajak mampir ke firma hukum ini, sebab ia tahu Ying juga bekerja di sini sebagai pengacara sewaan. Tapi ia tetap datang. Itu membuktikan keseriusannya dalam mengungkap persoalan kematian ayahnya.

"Solar." Aku berdeham dan memulai. "Meskipun aku telah menyetujui kesepakatannya, aku enggak mau merugikan kamu. Biar aku beritahu sekali lagi, aku janji ini yang terakhir karena aku tidak mau dianggap bawel."

Aku menyandarkan punggung ke kursi, dan mengidentifikasi keragu-raguan Solar. Solar hanya anak orang kaya yang kemahirannya dilemahkan oleh betapa manjanya ia pada bapaknya. Aku tahu ia pandai mengelola bisnis. Aku sempat mendengar, Retak'ka hampir bangkrut di awal tahun dua ribu sembilan belasan karena krisis moneter, tapi kebutuhan tambal sulam perusahaan bapaknya ditopang oleh real estate pegangan Solar.

Solar sesimpel itu; ia hidup dengan baik, dikelilingi penjilat-penjilat baik, dan jarang menjumpai rintangan. Kematian ayahnya membawanya pada kesedihan. Hatinya tak rela.

Dia cukup kasual dan amat simpel untuk mewajahi situasi terkini. Solar seperti anak itik yang kehilangan indungnya. Ia bingung hendak pergi kemana; meskipun aku telah menyuruhnya datang ke kepolisian, dan minta penyidik tambahan, Solar enggan. Dia ingin bergantung padaku meskipun dia tahu aku tak relevan.

Dia anak itik yang menginginkan bantuan dan suapan nasi.

"Aku pengacara, bukan penyidik. Peran kami jauh berbeda. Aku tak punya kewenangan dalam mengobservasi lapangan." Kataku. "Aku tak punya ID card yang digunakan kepolisian untuk memperoleh izin mengakses CCTV, melewati area police line, dan atau hak-hak istimewa lain. Bagi kasusnya, aku hanya warga sipil biasa. Pertukaran kita terdengar berat sebelah. Aku tak akan membantu banyak karena aku bukan seorang profiler, penyidik, detektif kepolisian sehebat Holmes atau Poirot. Aku hanya ... biar aku tekankan, pengacara swasta. Aku cuma bisa membimbingmu melalui narasi, berdasar pengetahuan umum. Aku hampir tidak berguna."

Solar mengangguk, "aku tahu. Nilai pelajaran pendidikan kewarganegaraanku nggak buruk. Pas-pasan KKM."

"Kudengar kamu pintar." Aku malah meladeninya.

"Aku hanya suka sains. Fisika dan matematika. Oh ya. Kimia." Solar merevisi.

Aku menggigit lidah, "Mama selalu bilang kamu jago segalanya. Dia membanding-bandingkan aku denganmu di banyak kesempatan."

Aku jadi ingat, Retak'ka sering open house kalau Solar memperoleh pencapaian. Juara satu olimpiade fisikalah, juara satu pertandingan karate nasionallah, juara satu penulisan karya tulis ilmiahlah. Pokonya macam-macam. Mama jadi terbakar api cemburu tiap kali ia diundang, dan ia melampiaskannya dengan menkorelatifkan aku pada Solar. Kadang Halilintar juga kena amuk.

Taufan x Reader | You Can Call Me AbangWhere stories live. Discover now