- 16

375 70 44
                                    

Ini menyedihkan. Mamanya Glacier mengetuk rumahku dan meminta anaknya untuk dipulangkan tepat jam lima subuh. Tiga hari sudah berlalu. Dan aku wajib mengembalikan anak lucu itu ke gendongan ibunya.

Mamanya Glacier datang ke rumahku hanya dengan menyebrang dari sisi jalan lainnya. Rumah kami berhadap-hadapan. Dia bilang, kapanpun aku mau berkunjung, dia akan selalu menyambut tetangganya. Orang itu berbaik hati mengizinkan aku mengasuh Glacier apabila aku mau—kurasa, dia tahu, aku kehilangan bayiku di dalam kandungan karena kecelakaan. Meskipun Mamanya Glacier terlalu sibuk untuk bergosip di tukang sayur, televisi menyiarkan kecelakaanku di saluran nasional. Tentu, aku terkenal sekali tiga bulanan lalu.

Aku cemberut saat aku baru mengembalikan Glacier. Aku tidak bisa memangkunya lagi dan memamerkannya pada Ying.

Aku kembali ke kamarku, dan memergoki Taufan mengucek matanya, terlihat kebingungan. Kupikir dia sudah tahu aku baru saja memulangkan Glacier.

Aku lekas duduk di tepi ranjang dan menarik selimut, aku menariknya dan membentangkannya di depan wajah manis Taufan, lalu aku mengepakkan selimutnya, mengakibatkan selimut itu tersibak dan kini berada di sekitaran kepala Taufan. Aku melapisi selimutnya ke bagian belakang punggung Taufan, dan membungkus pria itu seperti pocong saat ia duduk.

"Kamu kedinginan, 'kan?" Kataku, asal-asalan.

Taufan menggeleng. Karena masih mengantuk, ia tak begitu responsif.

Aku menyuruhnya berbaring di bantalnya, dan aku menari bed cover di ranjang untuk menyelimuti aku, serta Taufan.

"Upan, kamu kayak bayi, deh." Aku terkekeh. Dia terbungkus dalam selimut. Mukanya lugu dan manis. Matanya sayu, seperti bayi mengantuk. Dan aku menariknya ke pelukanku. Aku meletakkan satu lenganku untuk menjadi bantalnya Taufan, dan satu tangan lainnya mendekap pria itu di dadaku. Aku memposisikannya lebih rendah, sehingga dia bisa aku peluk sesukaku. Aku juga meletakkan daguku di puncak kepalanya.

Taufan jelas bingung, kenapa aku memperlakukannya begitu. Tapi perlu diketahui, ini sangat menguntungkan Taufan. Aku bahkan memergoki pria itu senyam-senyum saat aku menyuruhnya menenggelamkan kepalanya di pelukanku.

Aku membelai-belai kepalanya, "Bayi besarku sayang. Mau dibuatkan susu?"

Taufan mengangguk malu-malu alih-alih menjawab 'ya' atau 'tidak'. Aku tak bisa melihat seperti apa kondisi wajahnya, tapi aku hanya merasakan gerakan mengangguk-angguk dari arah dadaku.

"Kamu lucu. Imut. Pengen aku pancing pake permen buat dimasukin ke karung." Aku berdecak. Aku menjauhkan Taufan dari pelukanku, mendorong tubuhnya ke belakang—anehnya, dia tidak melawan sama sekali. Aku berbuat demikian karena aku ingin memandang wajahnya. Kini, Taufan menyunting senyum kikuk. Ia mengerjap lambat dan napasnya menderu dengan cepat. Tubuhnya gemetaran, dan dia makin gelisah saat aku menatapnya. Secara sepihak, Taufan mendorong tubuhnya ke tubuhku lagi, dan memelukku, menyembunyikan wajah malunya dari dunia.

"(Nama) ..." Ia memanggilku. Meskipun suaranya teredam oleh karena ia terkubur dalam pelukan dan selimut. "Abis amnesia, kamu bikin aku deg-degan mulu. Aku malu banget."

Aku perlahan mengingat hal-hal yang terjadi selama sedasawarsa ke belakang. Taufan tidak bohong. Well. Aku cukup bajingan sebelumnya. Selain karena aku selingkuh empat belas kali, aku juga sering menyakiti Taufan secara verba. Aku menyebut nama pria lain dan mengharapkan kedatangannya di dalam kamarnya Taufan. Itu buruk sekali.

Aku membelai lembut rambutnya Taufan, aku memaksa kepalanya untuk tetap berada di bawah daguku. Sebetulnya, aku tak perlu berusah-susah memaksa. Dia patuh. Justru aku perlu berpikir bagaimana aku akan lepas dari situasi ini. Taufan akan sulit dilepas. Aku tahu Taufan berniat berada di pelukanku dan merekat seperti selotip lengket bahkan sampai siang hari.

Taufan x Reader | You Can Call Me AbangWhere stories live. Discover now