- 07

405 80 104
                                    

"Halilintar itu, siapa?" Aku bertanya, terkesan frontal.

Sembari melipat spion mobilnya yang berpotensi menyenggol tanaman gelombang cinta di pinggir rak sepatu, Taufan berusaha menghindariku. Dia tidak seceria biasanya. Dia tidak mau diajak bicara semenjak dia menotis keberadaan Halilintar yang kuabaikan di teras firma hukum.

Taufan lalu menatapku sebentar, sebelum ia melengos ke ruang tamu, "Aku pikir kamu ingat."

"Aku enggak ingat." Aku menghembuskan napas berat. Biar aku jelaskan. Aku tidak memiliki gangguan kontrol emosi jenis apapun. Segala kekacauan yang kubuat dengan kesadaran penuh di ingatanku murni terjadi karena kebencianku pada dunia. Bahkan meninjau wajah Taufan, namun dalam pandangan lamaku terhadapnya, bisa menjadikan aku gunung Krakatau. Aku akan meledak marah. Aku merasa sangat tidak dihargai ketika aku bilang, aku menolak diperalat sebagai senjata diplomasi antar perseroan.

Aku mau muntah darah ketika mengingatnya. Aku benci! Kepalaku sakit, dan rasanya mau copot dari leher. Saking bencinya aku pada penghinaan ini—penghinaan dimana aku disuruh menikahi Taufan, dalam tujuan kiprah politik keluarga—aku sampai punya gejala serangan jantung. Aku tak bisa mendefinisikannya. Aku merasa berada serendah tanah, tidak punya martabat, murahan, dan rasa-rasa tadi pelan-pelan membunuhku. Rasa-rasa itu juga membentuk kepribadian burukku.

Aku tidak kuat. Meskipun hanya mengingatnya balik sekilas, aku jadi mau memuntahkan isi perutku beneran. Aku kepikiran untuk menghisap nikotin lagi sambil mempertimbangkan cara strategis supaya aku tidak bunuh diri. Jika akhirat tak menjanjikan siksaan bagi para pembunuh diri, aku sudah akan loncat dari menara kembar di Kuala Lumpur sejak lama.

"Kakakmu." Setelah sadar aku mengekorinya, Taufan duduk di sofa ruang tamu. Dia tidak punya pelarian. Oleh karena itu, Taufan memutuskan untuk tidak kabur kemana pun dan meladeni pertanyaan-pertanyaan ofensifku.

"Oh. Rupaya aku dan dia berasal dari kecebong yang sama." Aku menyentuh dadaku, dan meletakkan bokongku pada bantalan sofa tunggal di sebelahnya Taufan. Memandang mata judes Halilintar sama seperti menatap ularnya Lord Voldemort. Aku merasakan hawa kharismatik, tapi berbahaya. Aku dan Halilintar itu sama-sama pembawa aura-aura enggak enak. Nggak heran kalau dia nyatanya ialah kakak kandungku.

Lagian, cuma ada dua perbedaan mencolok yang terlihat padaku dan Halilintar. Rambut dan tinggi badan.

"Apa yang telah diperbuat Halilintar, sebelumnya?" Aku menginterogasi Taufan lagi. Bahkan aku, istrinya sendiri, sudah menyakiti perasaannya dengan banyak style. Jadi, aku tak yakin Halilintar bersih dari perbuatan tidak terpuji.

Taufan tampak kesulitan merangkai kalimatnya. Ia meremas kedua telapak tangannya, mengekspresikan khawatir. Bisunya Taufan menjelaskan betapa banyaknya dosa Halilintar pada Taufan.

"Halilintar ..." Taufan tidak mau menatapku. Ia selalu melarikan diri ketika kuajak berkontak mata. Taufan enggak enakan. Taufan tidak suka membeberkan kelakuan-kelakuan ajaibnya Halilintar padaku—ini namanya bukan suudzon, tapi tudingan berlandasan fakta empiris. Aku dan Halilintar berbagi rahim. Cara kami memilih jam tangan sungguh mirip; persis sama. Tentu saja bagaimana kami menyikapi Taufan tak akan jauh berbeda.

"Bilang aja." Aku menyilang tangan. Aku terlanjur penasaran.

Lalu Taufan meneguk salivanya. Ini dia. Salah satu perkara yang menimbulkan ketidaksukaan secara personalku pada Taufan ialah, Taufan nggak bisa mengerti betapa tidak sabarannya aku. Aku sangat egois dan egoku perlu diberi makan. Taufan tidak bisa mencukupi kebutuhan emosi itu. Sialan! Aku memang sangat brengsek, sama seperti Halilintar—titisan penjahat film Disney seperti aku tak pantas berada di rumah ini.

"Taufan!" Aku agak membentak setelah aku menghentakkan kaki sebanyak tiga kali. Aku meledak-ledak lagi. Aku dikendalikan sepenuhnya oleh sisi (Nama) yang membenci bumi beserta isinya. Biarlah! Kadang-kadang aku perlu menyerahkan kontrol tubuhku pada (Nama) itu, karena aku betul-betul tak bisa menhandle situasi dengan tetap tenang tanpa marah-marah.

Taufan x Reader | You Can Call Me AbangWhere stories live. Discover now