Can't You Listen? (2)

3K 463 30
                                    

Keesokan harinya, Syira memutuskan untuk nggak menghubungi Bayu sama sekali supaya niatnya nggak runtuh. Syira harus kesana, dia harus menentukan tempat tinggalnya, memastikan apakah hidup dia bisa aman disana selama 3 bulan, dan blablabla yang menurut dia nggak akan bisa dilakukan secara instan dan mendekati D-day.

Tapi pada akhirnya Syira berpikir kalau dia butuh saran dari orang lain, dan ia memutuskan untuk menghubungi Jauzan, yang memang sudah berbulan-bulan tinggal di Amerika, lewat Skype.

"Should I go?" Tanya Syira ke Jauzan yang sedang sibuk mengolesi selai coklat ke rotinya.

Jauzan hanya mengangkat bahu, "Kali ini gue mesti setuju sama Bayu. Cuacanya lagi gak nentu. Kekhawatiran Bayu beralasan. Lagian soal milih tempat tinggal doang lo bisa minta tolong gue kali."

"You don't even know how to reach New York." Ejek Syira yang sukses membuat Jauzan cemberut, "Lo kan cuma tau Depok dan Jakarta Selatan."

"Dan Malioboro. Dan Boston, dan Cambridge." Jauzan menambahkan dengan sedikit pride yang tersisa.

"Ya terserah. Jadi gimana nih?"

"Terserah lo aja sih. Pokoknya kalo jadi ya lo kabarin gue aja."

"Hmm," Syira mengangguk, "Yaudah gue pikirin dulu deh. Bye."

Setelah Jauzan membalas sapaan terakhirnya, Syira langsung berbaring lagi di kasurnya, memandang langit-langit kamarnya, berharap ada jawaban disitu.

Tapi ternyata jawabannya muncul di hp Syira.

Ada chat dari Bayu. Satu kata.

From: Bayu
Message: Jadi?

Jadi apa sih? Ya Tuhan, Bay, kamu tuh serius gak sih mau halangin aku pergi?

Syira mulai kesal, sampai dia akhirnya membalas dengan, 'Ya. Dan gak perlu nganter aku ke bandara besok. Itu pun kalau kamu emang pengen.'

Syira akan pergi. Nggak peduli apa kata Bayu. Nggak peduli apa Bayu mau datang ke bandara sambil marah-marah. Ini hidup Syira, Bayu belum punya hak secara penuh untuk melarang-larang Syira melakukan hal yang dia inginkan.

Dan untuk kedua kalinya, Syira melepas cincin pemberian Bayu seraya berkata—meski setengah tak percaya kalau dia akan bicara seperti itu, meski gak ke Bayu langsung—"You weren't even considering the commitment as a serious thing, aren't you? It's just a matter of drawing some boundaries around me, to you."

---

In the next day.

"Kamu beneran gak mau abang temenin?" Tanya Kenzo sambil menyelipkan entah apa ke tas kecil Syira.

Mama papa pun cuma hanya bisa ikut mengangguk-angguk, terlihat jelas kekhawatiran tergambar di wajah mereka, masalahnya Syira bukannya pergi ke Bandung atau ke Padang atau kemana. Ini sudah menyebrang samudra dan benua.

"Gakpapa, bang. Sendiri aja." Ujar Syira yang sebenernya sama ragunya.

"Syir, banyak doa ya di pesawat." Pesan Mayang yang kebetulan ikut ke bandara, Syira hanya bisa tersenyum, pikirannya sedang melayang kemana-mana.

Bahkan Syira nggak bisa duduk tenang selama menunggu panggilan mengenai flight nya. Tangannya berkeringat dingin. Dia masih memegang sedikit harapan kalau Bayu akan datang.

Sesekali dia menoleh ke arah pintu kaca, siapa tau ada Bayu disana.

Tapi nggak ada, bahkan sampai speaker di bandara mulai memperdengarkan info tentang flight Syira pun Bayu nggak datang atau bahkan mengirim pesan.

Syira hanya bisa pasrah pada keadaan dan pergi dengan asumsi bahwa Bayu sudah nggak tahan dengannya lagi. Tanpa tau kalau sebenarnya Bayu nggak pergi karena dia terlalu takut. Toh dia nggak bisa mengubah pikiran Syira.

Around HerWhere stories live. Discover now