Indonesia, 2056

1K 111 23
                                    

Lio mengusap kasar tengkuknya. Keringat yang mengalir di tengkuknya membuatnya merasa geli. Sinar terik matahari sore ini sudah menjadi makanan sehari-hari masyarakat Indonesia.

Tahu kenapa?

Indonesia, tahun 2056, masih menjadi negara berkembang dengan berbagai pembangungan bodohnya yang seringkali mengeksploitasi alam. Mereka memang menyadari bahwa hutan yang mereka eksploitasi adalah paru-paru dunia, namun tetap saja mereka membabat habis hutan itu.

Lio kembali mengusap pelipis, semua keringat itu membuatnya geli. Kota kecilnya yang terkenal dengan udara dinginnya sekarang cuma tinggal kenangan. Setiap sisi jalan sekarang adalah bangunan-bangunan yang dibangun oleh pebisnis kotor. Bahkan, lapangan yang biasa dipakai untuk bermain anak-anak telah diubah menjadi pusat perbelanjaan. Naas.

"To-tolooong! Copet!" suara melengking itu membuat Lio menoleh. Hanya sekedar menoleh tanpa membantu.

Ya, kenyataan Indonesia yang sangat pahit saat ini. Rasa saling membantu, toleransi, atau apapun itu hanya tinggal legenda. Para penegak hukum hanya akan bergerak jika ada cairan dari penguasa.

"Sudahlah," Lio membuang napasnya kasar, karena baru saja ia berniat ingin menolong wanita itu.

Selama ini Lio percaya kalau seseorang hanya akan datang disaat perlu dan pergi jika ia tak membutuhkannya lagi. Seperti halnya sekarang, meminta bantuan saat butuh, lalu pergi begitu saja setelah puas.

Jika Lio jujur, ia sendiri bingung apa tujuan pemerintah melakukan pembangunan diberbagai sektor. Sektor ekonomi, katanya untuk mengurangi pengangguran, namun kenapa masih banyak pengangguran? Kenapa pria itu masih mencopet wanita yang meminta tolong tadi? Sektor pendidikan, katanya agar menghasilkan penerus bangsa yang cerdas serta mendidik karakternya. Tapi faktanya, para siswa itu akan semakin malas jika ditekan dan membuat karakter pribadi mereka menjadi pembangkang, egois dan curang, seperti halnya sikap yang ditunjukkan orang tua mereka.

Lio malas memikirkannya lebih lanjut. Toh jika ia membuat perlawanan untuk membela kebenaran, yang ada orang-orang malah mencacinya, sikap yang memang menurun dari masa kemasa.

Lio berlari kecil saat mendekati rumahnya. Mandi adalah hal pertama yang ia lakukan sepulang sekolah. Lio harus bergegas karena ia menjadi penanggung jawab acara malam keakraban.

"Malam keakraban?" Lio tertawa setelah mengucap kalimat itu. "Cara terbaik untuk menghabiskan uang rakyat untuk hal yang tak berguna."

Malam keakraban adalah salah satu program pemerintah yang wajib diikuti siswa. Pemerintah akan membiayai semua kebutuhan untuk kegiatannya, baik komsumsi, perlengkapan, dan penyedia tenaga, tentu saja dengan uang pajak.

Hal yang sangat konyol untuk menutupi kegiatan korupsi penguasa tak berotak. Lagipula, malam keakraban itu sangat sangat tak berguna, sebab dari awal pribadi siswa sudah tidak lagi benar dan akan susah memperbaikinya.

"Ma, Lio pergi dulu," Lio pamit setelah persiapannya selesai.

Wanita paruh baya itu menoleh. "Mau kemana?"

"Makrab Ma," jawab Lio diambang pintu.

"Ooh."

Lio hanya tersenyum miris. Kakeknya pernah bercerita sewaktu ia kecil, orang tua itu, terlebih Ibu memiliki kasih sayang yang sangat tinggi. Ibu akan mengkhawatirkan anaknya jika terlambat pulang sekolah. Seorang Ibu juga pasti akan selalu berpesan pada anaknya untuk berhati-hati dalam sesuatu. Lio sangat menginginkan hal itu ada dalam hidupnya. Namun, yang ia alami sekarang berbeda dari cerita kakeknya, seperti itu hanyalah sebuah dongeng pengantar tidur.

MAMATRAWhere stories live. Discover now