Cooldown

181 28 19
                                    

Beni's P.O.V

Aku tahu, sudut pandangku dalam cerita ini tak begitu penting bagi para jenius itu. Ku akui, kepintaran Lio dan Fikri di atas rata-rata manusia normal, and who don't know about they are?

Diterima dan sekolah disini aja dengan beasiswa prestasi. Berbanding terbalik denganku yang masuknya melalui cara yang.., yhaa you know laah, pake duit.

Tapi, dengan kepintaran yang di atas rata-rata itu, apakah sepatutnya aku percaya seratus persen pada mereka? Terkadang aku merasa mereka terlihat seperti anak autis dengan daya khayal yang tinggi. Terlebih lagi si jenius bodoh Lio itu.

Kenapa ku bilang bodoh?

Dialah satu-satunya junior yang bisa diperintah siapa saja. Terlalu pintar membuatnya tak mengerti kejamnya dunia saat ini.

"Fik!" Itu suara si jenius bodoh dari ruang kontrol informasi. Aku rasa, dia sudah mulai berkhayal lagi.

Bukannya menoleh, Fikri malah menatapku..., 'h-how?! Bagaimana bisa..., l-lu kok?'. Ya gitu lah pokoknya, tatapan tak terima.

Tatapan yang bikin suasana disini tiba-tiba menjadi akward. Bahkan Zikri dan pacarnya pun ikut menatap aku seperti itu.

Apa salahku woyy!

Kesampingkan tatapan mereka, aku lebih tak nyaman dengan punggungku yang basah dan bau kencing ini. Sialan pacarnya Zikri! Cantik-cantik tapi kencingnya bau.

00.47

Aku mencoba membuka lemari yang berisi barang sitaan siswa. Untung-untung berhadiah, mana tau ada baju yang layak untukku pakai.

Derap langkah layaknya orang berlari terdengar di lorong gedung. Pikiranku menimang-nimang apakah itu suatu bahaya yang datang atau bertambah lagi jumlah jenius yang akan semakin membuatku terlihat seperti orang paling bodoh di sini.

"Haah! Ngapain kalian juga ada di sini?" ucap Daren dengan napas yang terpenggal-penggal.

Opsi kedua-ku sepertinya benar. Satu lagi jenius kurang kerjaan datang. Daren, jujur dia memang jenius, hanya saja dia lebih suka dikenal badung daripada pintar.

Sebut aku iri atau semacamnya aku tak peduli, namun inilah fakta di sekolah ini. SMA Negeri 1 Indonesia, sekolah unggul yang mayoritas muridnya memiliki kepintaran alami dan kepintaran berbayar sepertiku.

"Ruang kontrol inforimasi!" sambung Daren terengah-engah.

Daren bergegas masuk ke ruang kecil itu. Wajahnya sangat kusut.

"Lo ya dalangnya?" teriaknya.

Naluriku menyuruhku untuk mengintip apa yang terjadi di dalam sana. Daren mencekik leher Lio dengan tangan kirinya.

"A-apha?" jawab Lio.

"Lo 'kan yang..., bukan-bukan, itu suara cewek," gumam Daren seraya melepas jemarinya dari leher Lio. "CCTV, bukan! Siapa yang barusan gunain mic info?"

"Gak ada. Kami datang kesini cuma buat ngecek CCTV, tapi taunya cuma dapet gituan," jelas Fikri.

Aku penasaran dengan apa yang mereka permasalahkan. Ikut mengintip ke layar monitor. Awalnya hal yang ku lihat adalah deretan angka yang sedang hitung mundur, namun sedetik kemudian hitungan mundurnya menjadi dua kali lebih cepat dibanding sebelumnya.

"Eeeh," tanpa sadar aku bergumam namun pandanganku tetap fokus ke layar monitor. Mereka ternyata mengikutiku melihat monitor.

"Lha kok bis—, anjing!" umpat Lio.

MAMATRAWhere stories live. Discover now