[1]Sadar

350 51 13
                                    

Saran : Dengarkan lagu A Little Piece of Heaven - Avenged Sevenfold saat membaca.

Ledakan demi ledakan dihasilkan oleh bambu panjang saat anakannya keluar untuk menembus sasarannya. Tiga puluh menit murid SMA Negri Indonesia 1 melakukan hal itu, namun terasa sangat lama oleh mereka.

Nando dan Fikri saling berpacu memompa pletokan, saling melindungi dan membantu, yang tak mereka sadari baru saja mereka menciptakan sebuah kerjasama. Ada rasa puas dalam diri Nando karena ia tak merasa memiliki beban yang berat.

Bukan hanya itu, Nando juga mengetahui makna kerjasama yang sebenarnya. Makna yang tak diucapkan dalam kata, tapi hanya dapat dirasakan dalam hati. Makna yang tak diajarkan dalam buku atau pelajaran manapun. Makna yang hanya disadari oleh diri sendiri, yaitu mengerti.

"Ndo, Fik," panggil Lio yang sedang menggurat tanah. Ia tak bisa banyak bergerak karena tubuhnya penuh dengan luka.

Kedua pemilik nama menolehkan perhatiannya pada Lio. Memberikan raut wajah yang meminta penjelasan.

"Berhenti sebentar. Jangan menembak lagi," pinta Lio.

"Hah? Lo gila apa? Mereka itu gak berhenti-berhenti nembak ke sini!" Nando tak menyetujui.

Fikri seolah tak mendengar, masih melanjutkan hobi barunya, bermain pletokan.

"Lo pikir, kenapa dari tadi gak ada satupun tembakan mereka yang mengenai kita? Kenapa mereka malah mengincar benda-benda disekitar kita?" tanya Lio.

Nando tertawa sinis. "Ya, karena mereka bodoh lah."

Lio berdecak. "Denger penjelasan gue dulu, baru nilai siapa yang bodoh!" kesal Lio.

Nando menurunkan pletokannya, tapi Fikri tetap memainkannya dengan asik. Sudah ia katakan bukan? Siapapun yang mengganggu tidurnya, akan tahu akibatnya dari dirinya.

"Apa?" tanya Nando sebal.

"Sepertinya angin malam lebih bersahabat sekarang," ucap Lio yang membuat alis Nando bertaut. "Lo seharusnya sadar, gue gak pakai baju, kaki gue gak beralaskan dan sudah sepatutnya gue kedinginan sekarang. "

Nando mengangguk. Ia baru menyadarinya.

"Suhu disini sangat stabil. Tidak ada angin malam yang sangat dingin seperti biasanya. Ini terasa seperti suhu ru-,"

Lio berhenti saat ia menyadari ada orang di belakangnya. Fikri memutarkan badannya 180 derajat, lalu menembakkan pletokannya kepada seseorang yang berdiri di tengah lapangan. Sejenak Fikri mengadahkan kepalanya ke langit.

"Eeh?" gumam Fikri tanpa sadar.

Kedua pria itu menoleh kepada Fikri. "Ada apa Fik?" tanya Lio.

Fikri tampak berjalan sembarang arah, masih dengan mengadahkan kepalanya ke langit. Fikri menjauhi tempat-tempat yang berpohon, yang berpotensi menghalangi penglihatannya ke langit. Degub jantung Fikri tiba-tiba menjadi kencang.

"Gak ada bulan," ucap Fikri dengan mata yang membulat tak percaya.

"Mungkin lagi di fase-," Nando belum sempat menjawab dan dipotong oleh Fikri.

"Bukan, kemaren gue lihat half moon," potong Fikri.

Mungkin ini sebuah takdir Fikri memiliki ayah seorang astronom membuat dirinya menyukai benda-benda langit. Setiap malam Fikri meluangkan waktunya untuk melihat langit di rooftop apartemennya.

Nando bersegera mengikuti Fikri sambil mengadahkan wajahnya ke langit. Nando mengerti kalau misalnya cahaya di bumi terlalu terang saat malam hari, maka bintang-bintang akan sulit di lihat, namun tidak dengan bulan.

MAMATRAUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum