[1] Pletokan

407 65 13
                                    

Lio menatap ngeri darah merah yang menetes di perut gadis yang berdiri di depannya. Setiap gerakan yang dilakukan gadis itu membuat aliran darah itu semakin deras. Bahkan, kulitnya sudah sepucat mayat.

"Yo, dia siapa?" Nando juga memberikan tatapan yang sama. Lio menggeleng. "Nama kamu siapa?" tanya Nando pada gadis itu.

Tatapan gadis itu berpindah ke Nando. "A-aku? Aku Gea Ferari."

"Itu ..., lukamu, apa kamu tidak ingin diobati dulu?" Nando berganti tatapan menjadi heran.

Gea menggeleng. "Tak apa. Aku tidak membutuhkannya."

Gea mengedepankan tangan kirinya yang sedari tadi ia sembunyikan dibalik punggungnya. Tangannya memegang sebilah kayu ..., bukan, itu bambu yang cukup panjang dengan diameter kira-kira 2cm.

"Ayo kak, bantu aku," pinta Gea menyerahkan benda itu ke Lio.

Lio ragu menerimanya. Ia bingung apa yang harus ia bantu untuk gadis ini.

"Bantu apa?" tanya Nando.

"Bermain," polos Gea.

Lio menautkan alisnya, tak mengerti. "Bermain apa? Untuk apa?"

"Bukankah kakak akan mendukungku dan aku bilang bahwa aku mengandalkan kakak?"

"Tapi ...," Lio berjeda, mengambil napas kasar, "dek, maksudku mendukung kamu itu ... kamu berusaha untuk mengembalikan Indonesia sebagaimana dulu. Lagipula, sekarang bukan saatnya bermain, kita sedang dalam situasi genting saat ini," tolak Lio. Ia melepaskan kalungan tangannya dan duduk di tanah.

"Inilah caranya kak. Ini akan mengembalikan Indonesia," keukeuh Gea.

Lio memijit pelipisnya dengan tangan kirinya. "Bermain kamu bilang cara untuk mengembalikkannya? Jangan bodoh."

Gea menatap Lio intens. "Aku bukan sekedar main-main," tajam Gea.

Gea merogoh saku belakang celananya. Ia mengambil dua buah benda silinder dengan salah satu ujungnya runcing. Kedua benda itu dimasukkannya ke dalam kedua ujung bambu yang memiliki rongga udara di dalamnya.

Gea keluar dari lapangan sekolah. Dia berjalan mendekati gerbang, lurus dari jangkauan penglihatan Lio dan Nando. Gea berhenti. Sebilah batang bambu lainnya yang berukuran lebih kecil dari bambu pertama-yang ia pegang tadi-dimasukkannya pada salah satu ujung bambu pertama.

"Pluk," suara keluar dari bambu itu sedikit keras.

Seorang murid yang sedang duduk di atas taman jalan menuju gerbang ambruk. Darah merembes dari kaki murid laki-laki itu dan dua detik kemudian dari tempat yang sama keluar cahaya remang lalu terjadi ledakan.

Gea kembali menatap Lio dari kejauhan. Ia tersenyum puas saat Lio dan Nando ternganga dengan apa yang baru saja terjadi. Namun, satu hal yang tak diingat Gea, ia melakukannya terang-terangan di depan semua murid.

Gea berjalan santai kembali ke lapangan. "See?"

Lio menatap Gea tak percaya. "Apa yang lo lakuin?! Lo ... l-lo bu-bu-bunuh dia? Lo gila?!"

"Nggak kak, aku nggak gila."

Lio dan Nando sama-sama kehabisan kata-kata melihat Gea. Mereka berdua beradu pandang dan kembali lagi melihat Gea. Gadis yang di depannya psikopat, dan bisa-bisa nyawa mereka berdua dalam bahaya. Bukan, nyawa mereka semua dalam bahaya.

Bahu Gea ditarik kasar dari belakangnya sehingga ia harus berputar. Lebih dari dua puluh siswa mendekati Gea dengan Beni yang ada di paling depan.

"Jadi lo dalang dari bom-bom itu?" Beni, siswa kelas tiga sangat terlihat sedang menekan amarahnya. "Jawab gue bangsat!"

MAMATRAWhere stories live. Discover now